Popular Posts

Sunday, June 5, 2016

Makalah Parasitologi Tungau

Tungau bukanlah kutu dalam pengertian ilmu hewan walaupun sama-sama berukuran kecil. Apabila kutu sejati merupakan anggota Insecta (serangga), tungau lebih berdekatan dengan laba-laba dilihat dari kekerabatannya. Serangga dan tungau / akarina kalau diperhatikan ternyata paling banyak berasosiasi dengan kehidupan manusia, dan berbagai usaha telah dilakukan untuk menunjang kelangsungan hidupnya. Hal ini disebabkan oleh adanya keragaman genetik yang dimiliki oleh serangga dan tungau, sehingga dapat beradaptasi pada berbagai habitat alamiah maupun habitat buatan yang dikembangkan oleh manusia. Sejak jaman dahulu manusia telah bersaing dengan Arthropoda dalam mendapatkan makanan, ternyata manusia tidak selalu menang.


KATA PENGANTAR

Puji beserta syukur penulis panjatkan atas kehadirat ALLAH SWT. Karena atas rahmat dan hidayahNya, kita semua masih diberikan nikmat yang begitu besar yaitu nikmat iman dan islam. Selain itu penulis mengucapkan terimakasih kepada semua yang telah membimbing dalam pembuatan makalah ini. Serta kepada semuah pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Dalam makalah ini penulis mencoba menyampaikan materi tentang “TUNGAU DAN PENYAKIT YANG DISEBABKAN OLEH TUNGAU”. Beberapa tungau diketahui menjadi penyebar penyakit (vektor) dan pemicu alergi sehingga dapat bertindak sebagai parasite bagi organisme lain. Walaupun demikian, ada pula tungau yang hidup menumpang pada hewan lain namun saling menguntungkan. Oleh karena itu, besar harapan bahwa makalah ini dapat menjadi sumber informasi bagi setiap pembaca agar mengetahui mengenai tungau sebagai parasite serta penyakit yang disebabkannya.
Demikianlah pengantar yang dapat penulis sampaikan, semoga dengan adanya makalah ini bisa memberikan sedikit jawaban terutama penulis mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun dalam penulisan makalah ini karena penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga kritik dan saran dari para pembaca sangat besar sekali perananya.




                                                                                                Penulis



DAFTAR ISI

Kata pengantar...........................................................................................................
Daftar isi....................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
a.       Latar belakang.................................................................................................
b.      Rumusan masalah.......................................................................................
c.       Tujuan penulisan.............................................................................................
d.      Manfaat ..........................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tentang Tungau............................................................................
B.     Tungau Debu Dermatophagoides...............................................................
a.       Bentuk Tungau Debu Dermatophagoides............................................
b.      Habitat Tungau Debu Dermatophagoides............................................
c.       Daur Hidup Tungau Debu Dermatophagoides....................................
d.      Penyakit yang Disebabkan oleh Tungau Debu Dermatophagoides.....
C.     Tungau Sarcoptes scabiei...........................................................................
a.       Penyakit yang Disebabkan oleh Tungau Sarcoptes scabiei...............
b.      Tanda dan Gejala................................................................................
c.       Gejala Klinis........................................................................................
d.      Siklus Hidup Tungau...........................................................................
e.       Klasifikasi Skabies............................................................................
f.       Komplikasi........................................................................................
g.      Pengobatan .......................................................................................
h.      Pencegahan.......................................................................................
BAB III PENUTUP
a.       Kesimpulan.................................................................................................
b.      Saran...........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA



BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Tungau bukanlah kutu dalam pengertian ilmu hewan walaupun sama-sama berukuran kecil. Apabila kutu sejati merupakan anggota Insecta (serangga), tungau lebih berdekatan dengan laba-laba dilihat dari kekerabatannya. Serangga dan tungau / akarina kalau diperhatikan ternyata paling banyak berasosiasi dengan kehidupan manusia, dan berbagai usaha telah dilakukan untuk menunjang kelangsungan hidupnya. Hal ini disebabkan oleh adanya keragaman genetik yang dimiliki oleh serangga dan tungau, sehingga dapat beradaptasi pada berbagai habitat alamiah maupun habitat buatan yang dikembangkan oleh manusia. Sejak jaman dahulu manusia telah bersaing dengan Arthropoda dalam mendapatkan makanan, ternyata manusia tidak selalu menang.
Tungau yang dalam bahasa Inggris disebut mites atau ticks, merupakan salah satu hama yang mempunyai arti ekonomi yang cukup penting. Tungau / akarina sangat melimpah dan terjadi pada beberapa habitat yang dapat hidup pada berbagai jenis tanaman, bahan yang disimpan, dalam tanah, bahkan pada tubuh manusia atau hewan.
Diberbagai belahan dunia, laporan kasus scabies yang disebabkan oleh serangga tungau ini sering ditemukan pada keadaan lingkungan yang padat penduduk, status ekonomi yang rendah, tingkat pendidikan yang rendah dan kualitas higienis pribadi yang kurang baik atau cenderung jelek. Sehingga sangat berbahaya bagi kehidupan bermasyarakat.
Banyak di antara anggotanya yang hidup bebas di air atau daratan, namun ada anggotanya yang menjadi parasit pada hewan lain (mamalia maupun serangga) atau tumbuhan, bahkan ada yang memakan kapang. Beberapa tungau diketahui menjadi penyebar penyakit (vektor) dan pemicu alergi. Walaupun demikian, ada pula tungau yang hidup menumpang pada hewan lain namun saling menguntungkan. Demikianlah hal tersebut menjadi latar belakang dibuatnya penulisan makalah ini untuk lebih mendalami avertebrata khususnya serangga. Serangga dalam hal ini yaitu tungau (mites).

B.     RUMUSAN MASALAH
Dalam menyusun makalah ini penulis dapat merumuskan masalahnya sebegai berikut :
a.       Pengertian Tentang Tungau
b.      Tungau Debu Dermatophagoides
c.       Tungau Sarcoptes scabiei
d.      Penyakit yang Disebabkan oleh Tungau

C.    TUJUAN PENULISAN
Penulis menyusun makalah ini bertujuan sebagai :
1.      Mengetahui tentang  bagaimana morfologi Tungau
2.      Mempelejari bagaimana jenis-jenis Tungau bersifat parasit
3.      Mengetahui dan mempelejari penyakit yang disebabkan oleh Tungau

D.    MANFAAT
Manfaat dibuatnya makalah ini adalah : 
1.      Untuk menambah pengetahuan dan informasi tentang hewan yang bersifat parasit.
2.      Sebagai sebuah media pembelajaran tentang parasitologi.














BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengertian Tentang Tungau
Hewan ini merupakan salah satu avertebrata yang paling beraneka ragam dan sukses beradaptasi dengan berbagai keadaan lingkungan. Ukurannya kebanyakan sangat kecil sehingga kurang menarik perhatian hewan pemangsa besar dan mengakibatkan ia mudah menyebar. Banyak di antara anggotanya yang hidup bebas di air atau daratan, namun ada anggotanya yang menjadi parasit pada hewan lain (mamalia maupun serangga) atau tumbuhan, bahkan ada yang memakan kapang. Beberapa tungau diketahui menjadi penyebar penyakit (vektor) dan pemicu alergi. Walaupun demikian, ada pula tungau yang hidup menumpang pada hewan lain namun saling menguntungkan.
Di bidang pertanian, tungau menimbulkan banyak kerusakan pada kualitas buah jeruk (umpamanya tungau karat buah Phyllocoptura oleivera Ashmed dan  tungau merah Panonychus citri McGregor), merusak daun ketela pohon dan juga daun beberapa tumbuhan Solanaceae (cabai, tomat). Tungau juga menyebabkan penyakit skabies, penyakit pada kulit yang mudah menular.
Ada lebih dari 45 ribu jenis tungau yang telah dipertelakan. Para ilmuwan berpendapat, itu baru sekitar 5% dari kenyataan total jenis yang ada. Hewan ini dipercaya telah ada sejak sekitar 400 juta tahun. Ilmu yang mempelajari perikehidupan tungau dan caplak dikenal sebagai akarologi.

B.     Tungau Debu Dermatophagoides.

Gambar Tungau Dermatophagoides
a.      Bentuk Tungau Debu Dermatophagoides.
Satu di antara penyebab alergi dan asma adalah bahan pencetus alergi atau alergen yang terdapat pada debu. Alergen itu berasal dari mahluk hidup yang keberadaannya bersama debu dan tergolong ke dalam jenis tungau (mite), yaitu Dermatophagoides (famili Pyroglyphidae, kelas Arachnida). Dalam bahasa inggris tungau ini dikenal dengan nama house dust mite atau yang dikenal populer dengan nama tungau debu.
Tungau debu berukuran sangat kecil, sehingga tidak dapat dideteksi dengan mata telanjang. Tungau jantan panjangnya 370-430 mikron dan yang betina 300-350 mikron. Larva tungau mempunyai tiga pasang kaki, sedangkan yang dewasa mempunyai empat pasang, pasangan kaki pertama lebih tebal dari pasangan kaki yang lain, sehingga tampak seperti kepiting. Kaki ketiga lebih panjang 1,5 kali panjang kaki keempat dan langsing terkulai. Tubuhnya dilengkapi sepasang seta panjang di dorsal dan 2 pasang rambut panjang di lateral (tidak berasal dari keping). Bagian ventralnya dilengkapi seminal reseptakel yang meluas dan berbentuk seperti bunga daisy atau matahari dan ujung distal (bursa kopulatriks) sedikit mengalami sklerotisasi.
Tungau debu banyak dilaporkan di Amerika Serikat dan Hawai, Kanada, Eropa, Asia, Timur Tengah dan berbagai negara bagian di Australia, serta Amerika Selatan.
Secara ilmiah, taksonomi dan klasifikasi tungau debu adalah sebagai berikut:
Kingdom         : Animalia
Filum               : Arthropoda
Subfilum         : Chelicerata
Classis             : Arachnida
Ordo                : Acariformes
Subordo          : Astigmata
Subordo          : Astigmata
Familia            : Pyroglyphidae
Genus              : Dermatophagoides
Species            : Dermatophagoides pteronyssinus
  Dermatophagoides farinae
b.      Habitat Tungau Debu Dermatophagoides.
Tungau ini banyak ditemukan pada debu yang terdapat pada berbagai peralatan rumah tangga, khususnya perabotan yang terdapat di sekitar kamar tidur, seperti kasur, seprei, selimut, wool dan peralatan lain. Mengapa banyak terdapat di sekitar kamar tidur. Hal ini disebabkan oleh debu di sekitar kamar tidur biasanya banyak terdapat makanan tungau tersebut, seperti skuama atau rentuhan sel-sel kulit manusia yang banyak ditemukan di tempat tidur. Dermatophagoides menyukai tempat yang hangat, kering dan lembab. Meskipun tungau ini tidak menggigit dan tidak menularkan suatu penyakit, namun tungau ini menghasilkan material atau bahan yang bersifat alergen. Material tersebut berukuran sangat kecil dan ringan sehingga mudah terbang dan bersatu dengan debu di udara. Bila terhisap dapat menimbulkan reaksi alergi pada orang yang sensitif, sehingga menimbulkan pembengkakan pada saluran pernafasan yang akan memicu munculnya serangan asma, terutama bagi individu yang sensitif. Jenis tungau debu yang banyak ditemukan di Indonesia adalah dua jenis yaitu
Dermatophagoides pteronyssinus dan Dermatophagoides farinae. Keduanya merupakan tungau debu yang umum tersebar secara kosmopolit, di seluruh dunia. Selain itu, mungkin banyak jenis lainnya namun belum diteliti lebih mendalam.
Distribusi atau sebaran spesies Dermatophagoides sangat dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban, sehingga keberadaannya berbeda-beda di setiap wilayah. Sebagai contoh, Dermatophagoides pteronyssinus lebih banyak ditemukan di daerah yang memiliki kelembaban yang tinggi seperti di negara-negara Eropa dan Inggris, sedangkan Dermatophagoides farinae lebih banyak ditemukan di daerah yang memiliki cuaca kering yang panjang seperti di benua Amerika. Dominasi habitat tungau di suatu tempat tersebut menyebabkan orang awam menamakannya European house dust mite atau tungau debu Eropa untuk Dermatophagoides pteronyssinus, dan American house dust mite atau tungau debu Amerika untuk Dermatophagoides farinae. Meskipun demikian penamaan ini sebenarnya kurang tepat mengingat kedua jenis tungau tersebut dapat ditemukan dimana-mana di dunia ini.



c.       Daur Hidup Tungau Debu Dermatophagoides
Secara umum semua spesies tungau debu memiliki daur hidup yang mirip dengan tungau lainnya. Tungau debu bersifat ovipara. Siklus tungau debu dimulai dari telur, larva, protonimfa, tritonimfa dan dewasa. Siklus hidup ini sangat dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban, dan suhu optimsl bsgi pertumbuhan tungau adalah 25 – 30 derajat celcius pada kelembaban 70 – 80 persen. Waktu yang diperlukan perkembangan kedua spesies dari periode telur hingga dewasa adalah rata-rata 35 hari, tetapi yang betina lebih panjang yaitu sekitar 70 hari. Makin tinggi suhu periode siklus hidup akan semakin cepat, sebaliknya makin rendah suhu peride siklus hidup makin lambat. Adapun periode bertelur Dermatophagoides farinae berlangsung selama 30 hari, dan mampu memproduksi sekitar satu telur per hari, sedangkan Dermatophagoides pteronyssinus mampu bertelur sekitar 80 -120 telur selama periode 45-hari.
Bahaya Tungau Debu Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus adalah dua spesies tungau debu yang paling umum dan paling banyak menjadi pencetus alergi yang tersebar di lingkungan di dalam perumahan dan perkantoran di seluruh dunia dengan periode paparan alergen  sepanjang tahun. Oleh karena itu semua individu manusia baik di dalam rumah maupun di dalam kantor mempunyai kesempatan terpapar tungau debu yang sama sepanjang tahun di Indonesia, khususnya.
Hasil tes alergi terhadap orang-orang menunjukkan bahwa tungau debu diakui sebagai penyebab alergi yang paling umum dan sering ditemui di seluruh di dunia. Lebih dari 50% orang-orang yang diperiksa, peka terhadap alergen tungau debu tersebut. Tungau debu bersama dengan sisa-sisa dan reruntuhan sel-sel kulit manusia, berlimpah di kasur, kursi, karpet dan barang-barang rumah tangga lainnya, bahkan tungau juga sering ditemukan di tempat-tempat kerja. Oleh karena itu perkembang biakan dan sebaran tungau dan alergennya tidak hanya ditemukan di dalam rumah, tetapi juga di kantor banyak dijumpai. Tidak heran kalau debu dan tungau debu merupakan pemicu asma yang luar biasa.
Langkah-langkah untuk Mencegah Tungau debu dapat dimusnahkan dengan cara hidup bersih dan sehat. Lakukan dengan secara teratur upaya membersihkan dan mencuci barang-barang yang terdapat di dalam rumah, khususnya di ruang tidur dan ruang keluarga dan ruang lainnya. Demikian pula di dalam lingkungan perkantoran.
Tempat tidur setiap hari dibersihkan, kalau perlu dijemur secara berkala dan teratur. Karpet adalah sumber tungau debu yang juga perlu dibersihkan secara teratur. Upayakan kamar tidur dalam kondisi terang dan kering. Cara termudah adalah dengan mengijinkan udara dan sinar matahari masuk lewat jendela atau lubang ventilasi. Pertukaran udara dalam ruang mampu melenyapkan kelembaban, sedangkan sinar matahari memang tidak disukai oleh tungau debu.
Alat penyejuk ruangan seperti AC juga dapat dimanfaatkan untuk mempertahankan kelembaban udara menjadi rendah, yang membuat tungau tidak optimal berkembang. Bersihkan kamar tidur secara teratur debu yang menjadi sarang tungau harus dibersihkan setiap hari. Gunakan lap basah atau vacuum cleaner. Hindari penggunaan kemoceng, karena ini membuat debu bertebaran dan debu hanya berpindah tempat. Gantilah seprei, sarung bantal dan guling, setidaknya sekali seminggu. cuci dengan air panas di atas agar tungau debu mati. Gorden sebaiknya dicuci setiap 3 bulan sekali. servis AC setiap 6 bulan sekali untuk menghindari bertumpuknya debu di filter.
Percuma mengandalkan vacuum cleaner untuk menyedot debu di kasur ataupun sofa, jika debu yang sudah tertampung malah menumpuk di dalam alat. Penampung debu vacuum cleaner terbagi menjadi dua jenis, yang berkantong, dan tanpa kantong (bagless). Keduanya memiliki prinsip yang tidak jauh berbeda. Membersihkan debu dalam penampung pun harus diperhatikan, yaitu dekat dengan tempat sampah dan jauh dari kasur ataupun sofa agar debu dan tungau tidak kembali lagi. Gunakan vacuum cleaner yang dapat menjangkau daerah sudut rumah yang sulit untuk dijangkau agar dapat menghasilkan bersih yang maksimal.
d.      Penyakit yang Disebabkan oleh Tungau Debu Dermatophagoides
Tungau debu rumah adalah penyebab utama serangan mengi dan asma. Hewan tersebut berasal dari keluarga laba-laba, berukuran kurang dari setengah milimeter dan memiliki warna putih. Tungau berkembang biak dalam tempat lembab dan gelap dan bersuhu 25 derajat Celcius.
Sel kulit mati manusia adalah makanan favorit hewan ini. Tak mengherankan populasi tungau banyak ditemukan pada kasur dan mainan berbahan lembut seperti boneka. Kotoran tungau mengandung protein dan ketika dihirup atau disentuh seseorang yang alergi mendorong produksi antibodi. Hal ini menyebabkan pelepasan bahan kimia yang disebut histamin dalam jumlah yang sangat banyak. Dampaknya terjadi pembengkakan dan iritasi pada saluran pernapasan sehingga penderita sulit bernapas.
Penderita yang sensitif terhadap kotoran tungau debu disarankan melakukan pencegahan termasuk membersihkan dinding dan lantai dengan kain basah,  menggunakan plastik untuk tirai dan membekukan bantal dan mainan yang sering digunakan sebulan sekali.
Penderita asma juga membawa dampak bagi anggota keluarga yang lain, karena bunyi ngik-ngik yang frekuensi rancap setiap kali penderita menarik napas, atau tarikan napas yang tersengal-sengal. Hal ini membuat orang lain kuatir selain menjadi terganggu. Asma berasal dari kata Yunani yaitu Ashma – artinya sukar bernafas. Penyakit ini bukan penyakit menular, tetapi mengikuti faktor genetika terutama dari garis keturunan ibu. Sehingga seorang gadis atau ibu yang sedang hamil sebaiknya melakukan antisipasi agar kemungkinan anak yang dikandung mengidap asma bisa diperkecil, salah satu caranya dengan tidak merokok atau berdekatan dengan perokok (baik aktif maupun pasif) juga menghindari asap rokok dan diberi air susu ibu eksklusif selama 4-6 bulan – bayi yang baru lahir jangan diberi protein tinggi dari susu hewan (susu instan – susu formula) karena protein susu sulit diserap oleh sistem pencernaan bayi.
Asma merupakan penyakit yang tidak dapat sembuh namun bisa dikontrol dan diobati. Sebaiknya penderita asma menghindari faktor pencetus asma yaitu debu rumah. Debu rumah ini adalah kotoran kutu yang disebut tungau-tungau (Dermatophagoides pteronyssinus) yang gemar hidup di tempat tidur (kapuk tilam) dan di tempat yang lembab. Tungau-tungau memakan sisik kulit manusia yang terjatuh. Setiap orang rata-rata menjatuhkan 0,5 – 1 gram sisik kulit setiap hari yang cukup menjadi makanan ratusan tungau-tungau. Dalam satu gram debu rumah mengandung sekitar 5000 ekor tungau yang tidak kasat mata karena berukuran kecil dan sulit dibedakan dengan butiran debu.
Alergen (penyebab alergi) sebenarnya berasal dari protein kotoran tungau, dan butiran tinja ini mudah dihirup oleh manusia. Reaksi alergi mengarah ke penyakit asma. Pada penderita asma, pipa saluran udara (saluran pernapasannya) sangat peka dan sensitif terhadap alergen sehingga mudah meimbulkan batuk, sesak napas diikuti bunyi tiupan saat menghembuskan napas (ngik-ngik).
Supaya tidak kerap kambuh, penderita harus menjalani gaya hidup sehat, mengonsumsi makanan bergizi seimbang, banyak minum, kurangi kerja berlebihan, istirahat yang cukup seimbang, berolah raga, jangan beraktivitas hingga larut malam (semakin malam semakin dingin juga), olah raga yang dianjurkan adalah renang dan olah nafas.
Pengobatan alternatif untuk ashma dengan jenis herbal, yang terbaik di antaranya adalah Cordyceps – Cordyzhi – herbal alami yang mengandung nutrisi tinggi mutu sangat baik untuk terapi kesehatan. Ribuan tahun lalu ditemukan di dataran tinggi Tibet, Cina, dan Nepal. Mengandung bahan aktif cordycepic acid, cordycepin amino acid, glutamic acid, polisakarida, vitamin B12 dan vitamin lainnya. Herbal ini terkenal sebagai obat tradisional untuk mengatasi masalah kesehatan diantaranya meningkatkan fungsi paru, metabolisme tubuh, anti oksidan, dan meningkatkan stamina tubuh.
C.    Tungau Sarcoptes scabiei
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgGbcFJ7andq6YK3hcUeZurnma9WfjBE-bnfJaMkS2NlbedqdEX2T-3MJOb2GPqH9cJt5D4-uanl2nfx_PFk6WzKMtMKoX7csclVqNwK7qLsNKXUOU-pgSdLs0xj5Be5ID87p0I7yWbWMk/s1600/dust-mites.jpgDescription: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/1/1f/Sarcoptes_scabiei_1950_000.jpg
Gambar Tungau Sarcoptes scabiei
a.      Penyakit yang Disebabkan oleh Tungau Sarcoptes scabiei
Scabies adalah kondisi kulit yang gatal dikarenakan hewan kecil (tungau) yang disebut Sarcoptes scabiei. Tungau ini menggali lubang pada kulit dan menyebabkan rasa gatal pada area tersebut. Rasa gatal akan menguat khususnya ketika tidur. Scabies menular dan menyebar dengan cepat melalui kontak fisik. Meskipun obat yang diberikan membunuh hewan kecil tersebut, tetapi rasa gatal akan tetap dialami untuk beberapa minggu.
Skabies merupakan penyakit epidemik pada banyak masyarakat. Ada dugaan bahwa setiap siklus 30 tahun terjadi epidemik scabies. Penyakit ini banyak dijumpai pada anak dan orang dewasa muda, tetapi dapat juga mengenai semua umur. Insidensi sama pada pria dan wanita. Insidensi skabies di negara berkembang menunjukan siklus fluktasi yang sampai saat ini belum dapat dijelaskan. Interval antara akhir dari suatu epidemic dan permulaan epidemik berikutnya kurang lebih 10-15 tahun. Beberapa factor yang dapat membantu penyebarannya adalah kemiskinan, hygiene yang jelek, seksual promiskuitas, diagnosis yang salah, demografi, ekologi dan derajat sensitasi individual. Insidensinya di Indonesia masih cukup tinggi, terendah di Sulawesi Utara dan tertinggi di Jawa Barat.
Scabies mudah menyebar baik secara langsung melalui sentuhan langsung dengan penderita maupun secara tak langsung melalui baju, seprai, handuk, bantal, air, atau sisir yang pernah digunakan penderita dan belum dibersihkan dan masih terdapat tungau Sarcoptesnya. Scabies menyebabkan rasa gatal pada bagian kulit seperti sela-sela jari, siku, selangkangan. Scabies identik dengan penyakit anak pondok. penyebabnya adalah kondisi kebersihan yang kurang terjaga, sanitasi yang buruk, kurang gizi, dan kondisi ruangan terlalu lembab dan kurang mendapat sinar matahari secara langsung. Penyakit kulit scabies menular dengan cepat pada suatu komunitas yang tinggal bersama sehingga dalam pengobatannya harus dilakukan secara serentak dan menyeluruh pada semua orang dan lingkungan pada komunitas yang terserang scabies, karena apabila dilakukan pengobatan secara individual maka akan mudah tertular kembali penyakit scabies
b.      Tanda dan Gejala
Gejala yang paling umum dari kudis adalah gatal yang parah, yang mungkin lebih buruk pada malam hari atau setelah mandi air hangat. Sebuah infeksi kudis dimulai sebagai benjolan kecil, gatal, lecet, atau berisi nanah benjolan yang pecah ketika tergores. Kulit gatal dapat menjadi tebal, bersisik, berkerak, dan saling silang dengan tanda awal. Gatal ini disebabkan reaksi hipersensitivitas terhadap tungau dan/atau kotorannya dan telur.
Daerah tubuh yang paling sering terpengaruh oleh kudis adalah tangan dan kaki (terutama jaring kulit antara jari tangan dan kaki), bagian dalam pergelangan tangan, dan lipatan di bawah lengan. Hal ini juga dapat mempengaruhi area lain dari tubuh, terutama siku dan daerah sekitar payudara, alat kelamin, pusar, dan bokong.
Jika seorang anak dengan goresan kudis daerah gatal kulit, meningkatkan kemungkinan bahwa kulit terluka juga akan terinfeksi oleh bakteri. Impetigo, infeksi kulit bakteri, dapat terjadi pada kulit yang sudah terinfeksi kudis. Pada bayi dan anak kecil, ruam dapat berada di kulit kepala, telapak tangan, dan telapak kaki. Ruam pada bayi dan anak muda bisa tampak lebih memerah atau dengan lecet yang lebih besar.
c.       Gejala Klinis
Terdapat 4 gejala utama scabies adalah (Referatkedokteran, 2012) :
1.        Pruritus nokturna, artinya gatal pada malam hari yang disebabkan karena aktivitas tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas.
2.        Penyakit ini menyerang manusia secara berkelompok, misalnya dalam sebuah keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi. Begitu pula dalam sebuah perkampungan yang padat penduduknya, sebagian besar tetangga yang berdekatan akan diserang oleh tungau tersebut. Dikenal keadaan hiposensitisasi, yang seluruh anggota keluarganya terkena, walaupun mengalami infestasi tungau, tetapi tidak memberikan gejala. Penderita ini bersifat sebagai pembawa (carrier).
3.        Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang berwarna putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata panjang 1 cm, pada ujung terowongan ini ditemukan papul atau vesikel. Jika timbul infeksi sekunder ruam kulitnya menjadi polimarf (pustule, ekskoriasi dan lain-lain). Tempat predileksinya biasanya merupakan tempat dengan stratum korneum yang tipis, yaitu sela-sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, areola mammae (wanita), umbilicus, bokong, genitalia eksterna (pria) dan perut bagian bawah. Pada bayi dapat menyerang telapak tangan dan telapak kaki.
4.        Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostic. Dapat ditemukan satu atau lebih stadium hidup tungau ini.
d.      Siklus Hidup Tungau
Description: https://atjenese.files.wordpress.com/2012/05/4.jpg
Setelah kopulasi (perkawinan) yang terjadi di atas kulit, yang jantan akan mati, kadang-kadang masih dapat hidup dalam terowongan yang digali oleh yang betina. Tungau betina yang telah dibuahi menggali terowongan dalam stratum korneum, dengan kecepatan 2 -3 milimeter sehari dan sambil meletakkan telurnya 2 atau 4 butir sehari sampai mencapai jumlah 40 atau 50 . Bentuk betina yang telah dibuahi ini dapat hidup sebulan lamanya. Telurnya akan menetas, biasanya dalam waktu 3-5 hari, dan menjadi larva yang mempunyai 3 pasang kaki. Larva ini dapat tinggal dalam terowongan, tetapi dapat juga keluar. Setelah 2 -3 hari larva akan menjadi nimfa yang mempunyai 2 bentuk, jantan dan betina, dengan 4 pasang kaki. Seluruh siklus hidupnya mulai dari telur sampai bentuk dewasa memerlukan waktu antara 8 – 12 hari.
Telur menetas menjadi larva dalam waktu 3 – 4 hari, kemudian larva meninggalkan terowongan dan masuk ke dalam folikel rambut. Selanjutnya larva berubah menjadi nimfa yang akan menjadi parasit dewasa. Tungau betina akan mati setelah meninggalkan telur, sedangkan tungau jantan mati setelah kopulasi.
Sarcoptes scabiei betina dapat hidup diluar pada suhu kamar selama
lebih kurang 7–14 hari. Yang diserang adalah bagian kulit yang tipis
dan lembab, contohnya lipatan kulit pada orang dewasa. Pada bayi,
karena seluruh kulitnya masih tipis, maka seluruh badan dapat
terserang.
Penyakit ini menular dari hewan ke manusia (zoonosis), manusia ke hewan, bahkan dari manusia ke manusia. Cara penularannya adalah lewat kontak langsung maupun tak langsung antara penderita dengan orang lain, melalui kontak kulit, baju, handuk dan bahan-bahan lain yang berhubungan langsung dengan si penderita. Tempat-tempat yang menjadi favorit bagi sarcoptes scabei tinggal adalah daerah-daerah lipatan kulit, seperti telapak tangan, kaki, selakangan, lipatan paha, lipatan perut, ketiak dan daerah vital.
Sarcoptes scabei betina yang berada di lapisan kulit stratum corneum dan stratum lucidum membuat terowongan ke dalam lapisan kulit. Di dalam terowongan inilah Sarcoptes betina bertelur dan dalam waktu singkat telur tersebut menetas menjadi hypopi yakni sarcoptes muda dengan tiga pasang kaki. Akibat terowongan yang digali Sarcoptes betina dan hypopi yang memakan sel-sel di lapisan kulit itu, penderita mengalami rasa gatal, akibatnya penderita menggaruk kulitnya sehingga terjadi infeksi ektoparasit dan terbentuk kerak berwarna coklat keabuan yang berbau anyir. Sarcoptes tidak tahan dengan udara luar. Kalau orang yang menderita kudisan dan sering menggaruk pada kulit yang terkena tungau, tungau-tungau itu tetap dapat bertahan hidup karena kerak yang copot dari kulit memproteksi (jadi payung) tungau terhadap udara luar. Akibat lain kegiatan menggaruk tadi adalah mundulnya infeksi sekunder, dengan munculnya nanah (pus) dalam luka tadi. Hal ini akan menyulitkan pengobatan.
Gejala yang ditunjukkan adalah warna merah, iritasi dan rasa gatal pada kulit yang umumnya muncul di sela-sela jari, siku, selangkangan, dan lipatan paha. Gejala lain adalah munculnya garis halus yang berwarna kemerahan di bawah kulit yang merupakan terowongan yang digali Sarcoptes betina. Gejala lainnya muncul gelembung berair pada kulit.
Diagnosa pasti scabies dilakukan dengan membuat kerokan kulit pada daerah yang berwarna kemerahan dan terasa gatal. Kerokan yang dilakukan sebaiknya dilakukan agak dalam hingga kulit mengeluarkan darah karena Sarcoptes betina bermukim agak dalam di kulit dengan membuat terowongan. Untuk melarutkan kerak digunakan larutan KOH 10 persen. selanjutnya hasil kerokan tersebut diamatai dengan mikroskop dengan perbesaran 10-40 kali.
e.       Klasifikasi Skabies
Terdapat beberapa bentuk skabies apitik yang jarang ditemukan dan sulit dikenal, sehingga dapat menimbulkan kesalahan diagnosis. Beberapa bentuk tersebut antara lain (Handri, 2008) :
a.         Skabies pada Orang Bersih
Terdapat pada orang yang tingkat kebersihannya cukup. Biasanya sangat sukar ditemukan terowongan. Kutu biasanya hilang akibat mandi secara teratur. Bentuk ini ditandai dengan lesi berupa papul dan terowongan yang sedikit jumlahnya sehingga sangat sukar ditemukan.
b.         Skabies Inkognito
Obat steroid topikal atau sistemik dapat menyamarkan gejala dan tanda scabies, sementara infestasi tetap ada. Sebaliknya pengobatan dengan steroid topical yang lama dapat pula menyebabkan lesi bertambah hebat. Hal ini disebabkan mungkin oleh karena penurunan respon imum seluler.
c.         Skabies Nodular
Pada bentuk ini lesi berupa nodus coklat kemerahan yang agtal. Nodus biasanya terdapat di daerah tertutup, terutama pada genitalia laki-laki, inguinal dan aksila. Nodus ini timbul sebagai reaksi hipersensetivitas terhadap tungau scabies. Pada nodus yang berumur lebih dari satu bulan tungau jarang ditemukan. Nodus mungkin dapat menetap selama beberapa bulan sampai satu tahun meskipun telah diberi pengobatan anti skabies dan kortikosteroid.
d.        Skabies yang ditularkan melalui hewan
Di Amerika, sumber utama skabies adalah anjing. Kelainan ini berbeda dengan skabies manusia yaitu tidak terdapat terowongan, tidak menyerang sela jari dan genitalia eksterna. Lesi biasanya terdapat pada daerah dimana orang sering kontak/memeluk binatang kesayangannya yaitu paha, perut, dada dan lengan. Masa inkubasi lebih pendek dan transmisi lebih mudah. Kelainan ini bersifat sementara (4 – 8 minggu) dan dapat sembuh sendiri karena       Sarcoptes scabiei pada binatang tidak dapat melanjutkan siklus hidupnya pada manusia.
e.         Skabies Norwegia 
Skabies Norwegia atau skabies krustosa ditandai oleh lesi yang luas dengan krusta, skuama generalisata dan hyperkeratosis yang tebal. Tempat predileksi biasanya kulit kepala yang berambut, telinga bokong, siku, lutut, telapak tangan dan kaki yang dapat disertai distrofi kuku. Berbeda dengan skabies biasa, rasa gatal pada penderita skabies Norwegia tidak menonjol tetapi bentuk ini sangat menular karena jumlah tungau yang menginfestasi sangat banyak (ribuan). Skabies Norwegia terjadi akibat defisiensi imunologik sehingga sistem imun tubuh gagal membatasi proliferasi tungau dapat berkembangbiak dengan mudah.
f.          Skabies pada bayi dan anak 
Lesi skabies pada anak dapat mengenai seluruh tubuh, termasuk seluruh kepala, leher, telapak tangan, telapak kaki dan sering terjadi infeksi sekunder berupa impetigo, ektima sehingga terowongan jarang ditemukan. Pada bayi, lesi di muka.
g.         Skabies terbaring ditempat tidur (bed ridden). 
Penderita penyakit kronis dan orang tua yang terpaksa harus tinggal ditempat tidur dapat menderita skabies yang lesinya terbatas.
h.         Skabies yang disertai penyakit menular seksual yang lain 
Skabies sering dijumpai bersama penyakit menular seksual yang lain seperti gonore, sifilis, pedikulosis pubis, herpes genitalis dan lainnya.
f.       Komplikasi
Bila skabies tidak diobati selama beberapa minggu atau bulan, dapat timbul dermatitis akibat garukan. Erupsi dapat berbentuk impetigo, ektima, sellulitis, limfangitis, dan furunkel. Infeksi bakteri pada bayi dan anak kecil yang diserang scabies dapat menimbulkan komplikasi pada ginjal. Dermatitis iritan dapat timbul karena penggunaan preparat anti skabies yang berlebihan, baik pada terapi awal ataupun pemakaian yang terlalu sering.
g.      Pengobatan
Pengobatan scabies tidak terlalu sulit. Oleskan krim permetrin 5% seluruh tubuh dari leher ke bawah, selama semalam lalu basuh hingga bersih. Pengobatan ini biasanya diulang setelah 1 minggu. Alternatif pengobatan lainnya adalah dengan krim lindane, dioleskan seluruh tubuh dari leher ke bawah, dan dibersihkan setelah 8 jam. Kedua obat tersebut efektif, tetapi lindane cenderung mengiritasi kulit, lebih toksik dan tidak boleh diberikan kepada anak-anak dan ibu hamil. Selain itu, dapat diberikan pengobatan per oral, dengan ivermectin. Dosisnya adalah 200 mikrogram per kilogram berat badan, dosis tunggal. Pengobatan ini diulang setelah 2 minggu. Dapat dipergunakan pula antihistamin seperti CTM untuk mengurangi gatal. Hal lain yang dapat dilakukan adalah merendam pakaian, seprei dan selimut yang dipakai ke dalam air panas.
Semua keluarga yang berkontak dengan penderita harus diobati termasuk pasangan seksnya. Beberapa macam obat yang dapat dipakai pada pengobatan scabies yaitu :
1.      Permetrin. Merupakan obat pilihan untuk saat ini , tingkat keamanannya cukup tinggi, mudah pemakaiannya dan tidak mengiritasi kulit. Dapat digunakan di kepala dan leher anak usia kurang dari 2 tahun. Penggunaannya dengan cara dioleskan ditempat lesi lebih kurang 8 jam kemudian dicuci bersih.
2.      air digunakan selama 24 jam. Pemberian berikutnya diberikan beberapa hari kemudian.
3.      Emulsi Benzil-benzoas (20-25 %). Efektif terhadap semua stadium, diberikan setiap malam selama tiga hari. Sering terjadi iritasi dan kadang-kadang makin gatal setelah dipakai.
4.      Sulfur. Dalam bentuk parafin lunak, sulfur 10 % secara umum aman dan efektif digunakan. Dalam konsentrasi 2,5 % dapat digunakan pada bayi. Obat ini digunakan pada malam hari selama 3 malam.
5.      Monosulfiran. Tersedia dalam bentuk lotion 25 %, yang sebelum digunakan harus ditambah 2 – 3 bagian dari air dan digunakan selama 2 – 3 hari.
6.      Gama Benzena Heksa Klorida (gameksan). Kadarnya 1 % dalam krim atau losio, termasuk obat pilihan karena efektif terhadap semua stadium, mudah digunakan dan jarang terjadi iritasi. Tidak dianjurkan pada anak di bawah 6 tahun dan wanita hamil karena toksik terhadap susunan saraf pusat. Pemberian cukup sekali, kecuali jika masih ada gejala ulangi seminggu kemudian.
7.      Krotamiton 10 % dalam krim atau losio, merupakan obat pilihan. Mempunyai 2 efek sebagai antiskabies dan antigatal.
8.      Yang terpenting dalam pengobatan scabies, adalah seluruh orang yang tinggal ditempat yang sama dengan penderita juga harus diobati. Semua pakaian, handuk, bantal, kasur harus dijemur dibawah sinar matahari. Tujuannya agar tungau mati karena sinar matahari. Pakaian dicuci dengan menggunakan cairan karbol. Dan bila semua telah dilakukan, terpenting adalah mengubah cara hidup sehari-hari dengan tidak saling meminjamkan pakaian dan barang pribadi lainnya ke orang lain. Dengan begitu, scabies pasti akan musnah ditelan bumi, dan anak-anak pesantren pun akan tersenyum bangga, bebas dari penyakit yang selama berabad-abad identik dengan kehidupannya (Handri, 2008).
h.      Pencegahan
Pencegahan skabies dapat dilakukan dengan berbagai cara :
1.      Mencuci bersih, bahkan sebagian ahli menganjurkan dengan cara direbus, handuk, seprai maupun baju penderita skabies, kemudian menjemurnya hingga kering.
2.      Menghindari pemakaian baju, handuk, seprai secara bersama-sama.
3.      Mengobati seluruh anggota keluarga, atau masyarakat yang terinfeksi untuk memutuskan rantai penularan.














BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Berdasarkan makalah tentang Tungau yang dijelaskan melalui beberapa materi singkat diatas maka penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1.      Banyak diantara anggotanya yang hidup bebas di daratan, namun ada anggotanya yang menjadi parasit pada hewan lain (mamalia maupun serangga). Tungau menyukai tempat – tempat yang lembab dan tempat yang tidak terkena sinar matahari.
2.      Beberapa tungau diketahui menjadi penyebar penyakit (vektor) dan pemicu alergi. Walaupun demikian, ada pula tungau yang hidup menumpang pada hewan lain namun saling menguntungkan
3.      Scabies adalah kondisi kulit yang gatal dikarenakan hewan kecil (tungau) yang disebut Sarcoptes scabiei Fotosintesis sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor penting diantaranya cahaya, enzim, substrat dan suhu.
4.      Tungau debu rumah adalah penyebab utama serangan mengi dan asma Produk yang dihasilkan dari proses ini adalah glukosa dan O2.

B.     SARAN
Kepada seluruh masyarakat dan para mahasiswa diharapkan menjaga kebersihan pribadi dan lingkungan lebih baik lagi sehingga kondisi kesehatan dapat tercipta dengan baik. Selain itu, diharapkan agar tungau (mites) ini dapat didalami lebih lanjut dengan melakukan penelitian sehingga kita dapat mengetahui cara mencegah serta mengobati penyakit akibat serangga tungau ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca sekalian serta menjadi jalan untuk kita mempelajari Tungau lebih lanjut.




DAFTAR PUSTAKA

Hadi, U, K., 2005. Parasitologi dan Entomologi Kesehatan. Pascasarjana IPB. Bogor.
Djaenudin, N., Ridad, A., 2009. Parasitologi Kedokteran Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang. EGC. Jakarta.

Evi, D, L., Lyndon, S., 2011. Dasar-Dasar Zoologi. Binarupa Aksara Publisher. Tangerang Selatan.

Soebari., 2011. Entomologi. Departemen Kesehatan RI Sekolah Menengah Analis Kesehatan, Surabaya

Soedarto., 1989. Entomologi Kedokteran. EGC. Jakarta.

Soedarto., 2008. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Airlangga University Press. Surabaya.

Soedarto,. 2011. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. CV. Sagun Seto. Jakarta.

https://id.wikipedia.org/wiki/Tungau
http://tipskesehatanlengkap.com/cara-membasmi-tungau-debu
http://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20141218073518-255-18976/tips-usir-tungau-dari-kasur/

http://nightray13-kuro.blogspot.co.id/2012/05/parasitologi-scabies-yang-disebabkan.html

1 comments: