Makalah Sosial Masyarakat Perdesaan
Identifikasi Struktur Sosial Masyarakat Perdesaan
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sosiologi adalah masyarakat yang
merupakan kajian utama dalam disiplin ilmunya, maka kehidupan masyarakat tidak
bisa dilepaskan dari adanya unsur-unsur didalamnya yang menyebabkan terjadinya
suatu interaksi sosial. Struktur sosial dalam masyarakat mengacu pada pola
interaksi yang terdiri dari jaringan relasi sosial atau faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya suatu proses sosial. Faktor penyebab terjadinya proses
sosial inilah yang disebut sebagai unsur-unsur struktural (Soeleman B,
1993).
Proses sosial ang trjadi dalam
masyarakat tentunya tidak selalu berjaan dengan tertib dan lancar, karena
masyarakat pendukungnya memiliki berbagai macam karakteristik. Demikian pula
halnya dengan interaksi sosial atau hubungan sosial yang merupakan wujud dari
proses-proses soaial yang ada. Keragaman hubungan sosial itu tampak nyata dalam
struktur sosial masyarakat yang majemuk, contohnya seperti Indonesia (Marwanto,
2006).
Dasarnya struktur sosial itu terbagi
menjadi dua : yaitu, struktur sosial statis yang menyangkut bagaimana
masyarakat tersebut terbentuk secara vertikal dan horizontal, veritikal terbagi
menjadi : stratifikasi sosial (kepemilikan tanah, kepemilikan hewan ternak,
kesalahan beragama, barang). Sedangkan horizontal berbentuk , kelomok-kelompok
sosia tertentu (kelompok ternak), comunity of feeling. Struktur sosial dinamis
yaitu pola hubungan yang terorganisir (pattern) (Soeleman B, 1983).
Keragaman
hubungan sosial dalam suatu masyarakat bisa terjadi karena masing-masing suku
bangsa memiliki kebudayaan yang berbeda-beda, bahkan dalam satu suku bangsa pun
memiliki perbedaan. Namun, perbedaan-perbedaan yang ada itu adalah suatu gejala
sosial yang wajar dalam kehidupan sosial. Berdasarkan hal itulah maka didapatkan
suatu pengertian tentang keragaman hubungan sosial, yang merupakan suatu
pergaulan hidup manusia dari berbagai tipe kelompok yang terbentuk melalui
interaksi sosial yang berbeda dalam kehidupan masyarakat (Koentjaraningrat,
1983).
Maksud dan
Tujuan
Maksud…………………
adalah agar mengetahui secara langsung apa saja yang berhubungan dengan
interaksi sosial peternakan sapi potong di daerah perdesaan.
Tujuan
dilakukannya ….. adalah untuk mengetahui dan memahami makna struktur sosial
masyarakat perdesaan yang ada di kehidupan kita agar kita dapat memahami betul
apa itu struktur sosial masyarakat perdesaan dan juga bertujuan untuk memahami
tentang pembahasan struktur sosial masyarakat perdesaan.
TINJAUAN
PUSTAKA
Tinjauan Umum
Sapi Potong
Sapi
potong merupakan sapi yang dipelihara dengan
tujuan utama sebagai penghasil daging. Sapi potong biasa disebut sebagai sapi tipe
pedaging. Adapun ciri-ciri sapi pedaging
adalah tubuh besar, berbentuk persegi empat atau balok, kualitas dagingnya maksimum,
laju pertumbuhan cepat, cepat mencapai dewasa, efisiensi pakannya tinggi, dan
mudah dipasarkan (Santosa, 1995).
Menurut
Abidin (2006) bahwa sapi potong adalah jenis sapi khusus dipelihara untuk
digemukkan karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan
kualitas daging cukup baik. Sapi-sapi
ini umumnya dijadikan sebagai sapi bakalan, dipelihara secara intensif selama
beberapa bulan, sehingga diperoleh pertambahan bobot badan ideal untuk dipotong. Sistem pemeliharaan sapi potong dapat
dibedakan menjadi tiga, yaitu sistem pemeliharaan ekstensif, semi intensif dan
intensif. Sistem ekstensif semua aktivitasnya dilakukan di padang penggembalaan
yang sama. Sistem semi intensif adalah memelihara sapi untuk digemukkan dengan
cara digembalakan dan pakan disediakan oleh peternak, atau gabungan dari sistem
ekstensif dan intensif. Sementara sistem intensif adalah pemeliharaan sapi-sapi
dengan cara dikandangkan dan seluruh pakan disediakan oleh peternak
(Susilorini, 2008).
Indonesia
cukup banyak dikenal sapi potong lokal, jenis sapi potong impor, maupun sapi
peranakan atau hasil silangan yang dikembangkan lewat kawin suntik (inseminasi
buatan). Penilaian keadaan individual sapi potong yang akan dipilih sebagai
sapi potong bibit atau bakalan, pada prinsipnya berdasarkan pada umur, bentuk
luar tubuh, daya pertumbuhan dan temperamen.
Namun secara praktis yang umumnya dipergunakan dalam
penilaian individual, adalah mengamati bentuk luar, yakni bentuk tubuh umum,
ukuran vital dari bagian-bagian tubuh, normal tidaknya pertumbuhan organ
kelamin, dan dari sudut inilah tidak terlepas dari faktor genetis sapi potong
(Murtidjo, 1990).
Kriteria
pemilihan sapi potong yang baik adalah
sapi dengan jenis kelamin jantan 8 atau jantan kastrasi, umur sebaiknya
1,5-2,5 tahun atau giginya sudah poel satu, mata bersinar, kulit lentur, sehat,
nafsu makan baik, bentuk badan persegi panjang, dada lebar dan dalam,
temperamen tenang, dari bangsa yang mudah beradaptasi dan berasal dari
keturunan genetik yang baik (Abidin, 2006).
Menurut
Mustofa (2012) bahwa bibit ternak, dari segi usaha peternakan sapi potong
mempunyai arti penting dalam mendukung keberhasilan usaha. Sedangkan dari segi
pemeliharaan sendiri, tujuan ternak sapi potong dikenal dua alternatif, yaitu:
1. Usaha
pemeliharaan sapi potong bibit bertujuan pengembangbiakan sapi potong.
Keuntungan yang diharapkan adalah hasil keturunannya.
2.
Usaha
pemeliharan sapi potong bakalan bertujuan memelihara sapi potong dewasa, untuk
selanjutnya digemukkan. Keuntungan yang diharapkan adalah hasil penggemukan.
Pemilihan sapi potong bibit dan bakalan yang akan dipelihara, akan tergantung
pada selerah petani ternak dan kemampun modal yang dimiliki. Namun secara umum
yang menjadi pilihan petani peternak, adalah sapi potong yang pada umumnya
dipelihara di daerah atau lokasi peternakan dan yang paling muda pemasarannya.
Definisi
Pedesaan
Perdesaan
adalah suatu wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian dan peternakan,
termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai
tempat pemukiman, pelayanan jasa pemerintah pelayanan sosial dan kegiatan
ekonomi (Koentjaraningrat, 1983).
Ciri- ciri masyarakat pedesaan
menurut (Koentjaraningrat, 1983) adalah sebagai berikut :
1.
Di dalam masyarakat pedesaan memiliki
hubungan yang lebih mendalam dan erat bila dibandingkan dengan masyarakat
pedesaan lainnya di luar batas-batas wilayahnya.
2.
System kehidupan umumnya berkelompok dengan
dasar kekeluargaan (gemeinschaft atau pagayuban).
3.
Sebagian besar warga masyarakat hidup
dari pertanian. Pekerjaan-pekerjaan yang bukan pertanian merupakan sambilan
(part time) yang biasa mengisi waktu luang.
4.
Masyarakat tersebut homogen, seperti
dalam hal mata pencahariaan, agama, adat-istiadat dan sebagainya.
Desa
adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan
masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat dan hukum yang mempunyai
organisasi pemerintahan terendah
langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya
sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Susulirini, 2008).
Kawasan
perdesaan (rural) adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk
pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sosial, dan kegiatan
ekonomi (Abidin, 2006).
Ciri-ciri
kawasan perdesaan (Abidin, 2006)
1.
Kepadatan penduduk rendah
2.
Kegiatan
di pedesaan didominasi oleh kegiatan pertanian tanaman keras, tanaman
tumpang sari, peternakan sapi, kambing, ungguas, kolam ikan.
3.
Masih banyak ditemukan hewan liar
seperti burung, tikus, tupzai, ular dan lain sebagaianya.
4.
Penduduk terkonsentrasidalam bentk
kluster yang disebut desa.
5.
Hubungan sosial masyarakat masih sangat
akarab dan saling bantu.
Masyarakat
pedesaan lebih bersosialisasi dengan kepribadian yang sederhana. Masyarakat
pedesaan itu lebih bisa bersosialisasi dengan orang-orang di sekitarnya,
sehingga mereka hampir hafal semua penduduk yang tinggal di desa. Masyarakat
pedesaan juga sangat ramah terhadap orang asing yang belum dikenalnya. Untuk
kepribadian, masyarakat pedesaan lebih terkesan santai karena kerjanya tidak
terlalu berat seperti masyarakat perkotaan. Pola interaksi masyarakat pedesaan
adalah dengan prinsip kerukunan dan bersifat horizontal serta mementingkan
kebersamaan. Pola solidaritas sosial masyarakat pedesaan timbul karena adanya
kesamaan-kesamaan kemasyarakatan (Landis, 2003).
Karakteristik umum masyarakat pedesaan yaitu
masyarakat desa selalu memiliki ciri-ciri dalam hidup bermasyarakat, yang biasa
nampak dalam perilaku keseharian mereka. Pada situasi dan kondisi tertentu,
sebagian karakteristik dapat dicontohkan pada kehidupan masyarakat desa di
jawa. Namun dengan adanya perubahan sosial dan kebudayaan serta teknologi dan
informasi, sebagian karakteristik tersebut sudah tidak berlaku. Sedangkan cara
beadaptasi mereka sangat sederhana, dengan menjunjung tinggi sikap kekeluargaan
dan gotong royong antara sesama, serta yang paling menarik adalah sikap sopan
santun yang kerap digunakan masyarakat pedesaan (Machmud, 2013).
Hakikat dan
Sikap Masyarakat Perdesaan
Mayarakat
Indonesia lebih dari 80
tinggal di perdesaan dengan mata pecaharian
yang bersifat agraris. Masyarakat perdesaan yang agraris biasanya dipandang
antara sepintas kilas dinilai oleh orang-orang kota sebagai masyarakat tentang
damai, harmonis yaitu masyarakat yang adem ayem, sehingga oleh orang kota
dianggap sebagai tempat untuk melepaskan lelah dari segala kesibukan, keramaian
dan keruwetan atau kekusutan pikir. Maka tidak ja orang s kota melepaskan
segala kelelahan dan kekusutan pikir tersebut pergilah mereka ke luar kota,
karena mrupakan tempat yang adem ayem, penuh ketenangan. Tapi sebetulnya
ketenangan masyarakat perdesaan itu hanyalah terbawa oleh sifat masyarakat itu
yang oleh Ferdinand Tonies diistilahkan dengan masyarakat gemeinschaft
(paguyuban). Jadi paguyuban masyarakat itulah yang menyebabkan orang-orang kota
menilai sebagai masyarakat itu tenang harmonis, rukun dan damai dengan julukan
masyarakat yang adem ayem. Tetapi sebenarnya di dalam masyarakat perdesaan kita
ini mengenal bermacam-macam gejaa, khususnya tentang perbedaan pendapat atau
paham yang sebenarnya hal ini merupakan sebab-sebab bahwa di dalam masyarakat pedesaan
penuh dengan ketengangan-ketegangan sosial (Ahmadi, 2003).
Ciri-ciri
masyarakat pedesaan menurut Talcott Parson yaitu:
a.
Afektifitas ada hubungannya dengan
perasaan kasih sayang, cinta, kesetiaan dan kemesraan. Perwujudannya dalam
sikap dan perbuatan tolong menolong, menyatakan simpati terhadap musibah yang
diderita orang lain dan menolongnya tanpa pamrih.
b.
Orientasi kolektif siafat ini merupakan
konsekuensi dari Afektifitas, yaitu mereka mementingkan kebersamaan, tidak suka
menonjolkan diri, tidak suka akan orang yang berbeda pendapat, intinya semua
harus memperlihatkan keseragaman persamaan.
c.
Partikularisme pada dasarnya adaalah
semua halnang ada hubngannya dengan keberlakuan khusus untuk suatu tempat atau
daerah tertentu. Perasaan subyektif, perasaan kebersamaan sesungguhnya yang
hanya berlaku untuk kelomok tertentu saja (Lawannya Universalisme).
d.
Askripsi yaitu berhubungan dengan mutu
atau sifat khusus yang tidak diperolrh berdasarkan suatu usaha yang tidak
disengaja, tetapi merupakan suatu keadaan yang sudah merupakan kebiasaan atau
keturunan (Lawannya Prestasi).
e.
Kekebaran (diffuseness). Sesungguhnya
yang tidak jelas terutama dalam hubungan antara pribadai tanpa ketegasan yang
dinyatakan eksplisit. Masyarakat desa menggunakan bahasa tidak langsung, untuk
menunjukkan sesuatu. Dari uraan tersebut (pendapat Talcott Parson) dapat
terlihat pada desa-desa yang masih murni masyarakatnya tanpa pengaruh dari
luar.
Masyarakat
pedesaan mempunyai sifat yang kaku tapi sangatlah ramah. Biasanya adat dan
kepercayaan masyarakat sekitar yang membuat masyarakat perdesaan masih kaku,
tetapi asalkan tidak melanggar hukum adat dan kepercayaan maka masyarakat
perdesaan adalah masyarakat yang ramah (Anggraini, 2003).
Pada hakikatnya masyarakat perdesaan adalah masyarakat
pendukung seperti sebagai petani yang menyiapkan bahan pangan, pekerjaan yang
biasanya hanya bersifat pendukung tapi terlepas dari itu masyarakat perdesaan
banyak juga yang sudah berpikir maju dan keluar dari hakikat itu (Anggraini,
2003).
Interaksi Sosial
Masyarakat Perdesaan
Interaksi
sosial merupakan hubungan sosial antara individu dedngan individu lainnya, baik
berupa kelompok ke kelompok lain maupun individu ke kelompok. Interaksi sosial
di daerah perdesaan masih jauh lebih baik dari pada yang tinggal di kota, hal
ini disebabkan oleh perbedaan gaya hidup eperti yang telah kita bahas pada bab
sebelumnya. Interaksi sosial yang baik ini membuat masyarakat perdesaan
memiliki kultur budaya kehidupan yang lebih rukun dan ramah. Umumnya masyarakat
perdesaan masi kuat dalam memegang kebudayaan dan adat kebiasaan meraka.
Mereaka lebih preventif terhadap kebudayaan asig yang masuk. Hal ini membuat
kultur adat kebiasaan mereka sangat kental dalam berinteraksi, mungkin hal ini
pula yang dulunya membuat bangsa Indonesia menjadi salah satu Negara yang
paling raah tamah di dunua dahulu kala. Pola interaksi mereka sangat kuat
hubungan kekeluargaannya. (A.I.Dzhoimin. 1967).
Masyarakat
pedesaan selalu memiliki ciri-ciri atau hidup bermasyarakat, yang biasanya
tampak dalam perilaku keseharian mereka. Pada situasi dan kondisi tertentu,
sebagian karakteristik dapat digeberalisasikan pada kehidupan masyarakat desa
di Jawa. Namun demikian, dengan adanya perubahan sosial religius dan
perkembangan era informai dan teknologi, terkadang sebagian karakteristik
tersebut sudah “Tidak Berlaku’. Masyarakat pedesaan juga ditandai dengan
pemilikan ikatan perasaan batin yang yang kuat sesama warga desa, yaitu perasan
setiap warga/anggota masyarakat yang ama kuat yang hakekatnya, bahwa seseorang
merasa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat dimanapun
ia hidup dicintainya serta mempunyai perasaan bersdia untuk berkorban setiap
waktu demi masyarakatnya atau anggora-anggota masyarakat, karena beranggapan
sama-sama sebagai masyarakat yang saling mencintai saling menghormati,
mempunyai hak tanggung jawab yang sama terhadap keselamatan bersama di dalam
masyarakat (Mustofa, 2012).
Menurut
Mustfa (2012) ciri-ciri masyarakat desa antara lain:
1.
Didalam masyarakat pedesaan di anatra warganya
mempunyai hubungan yang lebih mendalam dan erat bila dibandingkan dengan
masyarakat pedesaan lainnya di luar batas wilayahnya.
2.
Sistem kehidupan umumnya berkelompok
dengan dasar kekeluargaan
3.
Sebagian besar warga masyarakat pedesaan
hidup dari pertanian
4.
Masyarakat tersebut homogen, seperti
dalam hal mata pencahariaan, agama, adat istiadat, dan sebagainya.
Didalam
masyarakat pedesaan kita mengenal berbagai macam gejala, khususnya tentang
peredaan pendapat atau paham yhang sebenarnya hal ini merupakan sebab-sebab
bahwa di dalam masyarakat pedesaan penuh dengan ketegangan-ketengan sosial.
Gejala-gejala sosial yang sering diistilahkan dengan konflik, kontraversi,
kompetisi (A.I.Dzhomin. 1967).
Sosial Ekonomi
Masyrakat Pedesaan
Fenomena kesenjangan
perkembangan antar wilayah di suatu negara, meliputi wilayah-wilayah yang sudah
maju dan wilayah-wilayah yang sedang berkembang memicu kesenjangan sosial antar
wilayah. Salah satu faktor terjadi kesenjangan antara desa dan kota karena
pembangunan ekonomi
sebelumnya cenderung bias kota (urban bias).
Sebagai dampak pemberlakuan model pembangunan yang bias perkotaan, sektor
peternakan yang identik dengan ekonomi perdesaan
mengalami kemerosotan. Dibandingkan dengan pertumbuhan sektorindustri
dan jasa,
yang identik dengan ekonomi perkotaan, sektorpertanian
menjadi semakin tertinggal. Untuk mengatasi hal tersebut, setiap negara mencoba
melakukan tindakan intervensi untuk mengurangi tingkat kesenjangan antar wilayah
dengan melakukan pembangunan perdesaan (Daldjoeni, N dan
A. Suyitno, 2004).
Faktor-faktor kemiskinan
yang terjadi di masyarakat perdesaan cenderung lebih bersifat struktural
dibandingkan bersifat kultural. Dalam kasus ini, masyarakat perdesaan
diidentikkan dengan perilaku dan sikap yang dianggap kolot dan tradisional
dihadapkan dengan sikap dan perilaku orang kota yang maju dan modern.
Terjadinya keterbelakangan sosial masyarakat desa dalam pembangunan dilibatkan
karena sulitnya masyarakat desa menerima budaya modernisasi, sulit untuk
menerima teknologi baru, malas, dan tidak mempunyai motivasi yang kuat, merasa
cukup puas dengan pemenuhan kebutuhan pokok yang paling dasar, dan budaya
berbagi kemiskinan bersama (Rahardjo, 2006).
Pembangunan yang berbasis
perdesaan diberlakukan untuk memperkuat fondasi perekonimian negara,
mempercepat pengentasan kemiskinan dan pengurangan kesenjangan perkembangan
antar wilayah, sebagai solusi bagi perubahan sosial, desa sebagai basis
perubahan. Dalam realisasinya, pembangunan perdesaan memungkinkan sumber-sumber
pertumbuhan ekonomi digerakkan ke pedesaan sehingga desa menjadi tempat yang
menarik sebagai tempat tinggal dan mencari penghidupan. Infrastruktur desa,
seperti irigasi, sarana dan prasarana transportasi, listrik, telepon, sarana
pendidikan, kesehatan dan sarana-sarana lain yang dibutuhkan, harus bisa
disediakan sehingga memungkinkan desa maju dan berkembang (Rahardjo, 2006).
Model intervensi terhadap
proses pembangunan pedesaan bertumpu pada pandangan yang menganggap bahwa
perkotaan perdesaan (rural urbanization)
yang berdasarkan pengembangan perkotaan dan perdesaan sebagai kesatuan ekonomi
dan kawasan serta pengembangan peternakan secara modern melalui mekanisasi dan
industralisasi peternakan dan penerapan standar pelayanan minimum yang sama
antara desa dan kota. Dalam intervensi pembangunan perdesaan digunakan analisis
terhadap anatomi desa sehingga tidak kontraproduktif dalam merealisasikan
pembangunan perdesaan. Anatomi tersebut
mncakup struktur demografi masyarakat, karakteristik sosial-budaya,
karakteristik fisik/geografis, pola kegiatan usaha peternakan, pola keterkaitan
ekonomi desa-kota, sektor kelembagaan desa, dan karakteristik kawasan pemukiman
sehingga dalam pembangunan perdesaan berlandaskan pada kearifan lokal
(Soeleman.B, 1983).
0 comments:
Post a Comment