Pendugaan Produktivitas Tanaman Padi Sawah Berdasarkan Citra Digital dan Spektroradiometer
Jurnal Pertanian
Pendugaan
Produktivitas Tanaman Padi Sawah Berdasarkan Citra Digital dan Spektroradiometer
1
Pendahuluan
1. 1
Latar
Belakang
Produksi
padi/beras merupakan salah satu indikator ketahanan pangan. Estimasi produksi
padi sebelum masa panen sangat penting untuk mengevaluasi tingkat kecukupan
persediaan pangan dan menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan
apakah perlu melakukan impor jika terjadi defisit atau ekspor jika terjadi
surplus persediaan padi/beras. Pengumpulan data produktivitas melalui
pengukuran di lapangan dan sains dan
teknologi penginderaan jauh dapat menjadi alternatif untuk mengestimasi produktivitas
padi sawah pada area yang luas secara lebih cepat dan dengan biaya yang relatif
murah. Telah diketahui bahwa penginderaan jauh yang dikombinasikan dengan
model-model produksi tanaman merupakan sarana yang ampuh untuk mengestimasi
produktivitas tanaman pada berbagai skala spasial, baik skala lokal, regional,
maupun global.
Model penginderaan jauh yang menghubungkan data
reflektansi citra satelit dengan parameter tanaman padi akan sangat berguna
untuk memantau pertumbuhan biomassa dan memprediksi produktivitas hasil tanaman
(crop yield) secara lebih cepat dan efisien. Organisasi PBB untuk pangan
dan pertanian, FAO (Food and Agricultural Organization), telah
mengembangkan beberapa prosedur untuk menghitung produktivitas tanaman pada
skala regional dari nilai NDVI menggunakan
citra satelit dengan resolusi spasial rendah dan resolusi temporal tinggi.
Perhitungan produktivitas hasil tanaman dilakukan
untuk setiap satu periode musim tanam (growing season). Dengan
demikian awal musim tanam (tanggal tanam) dan akhir musim tanam (tanggal panen)
harus diketahui. Pada tanaman-tanaman yang memiliki pola tanam dan kalender
tanam yang tetap atau teratur tidak sulit untuk mengetahui dan menentukan waktu
awal dan akhir musim tanam sehingga perhitungan produktivitas hasil tanaman
musiman dapat dilakukan dengan lebih mudah. Namun, tidak demikian halnya dengan
tanaman dan lahan pertanian yang memiliki pola tanam dan kalender tanam yang
heterogen. Pada kondisi demikian, estimasi produktivitas hasil tanaman musiman
(1 periode musim tanam) pada umumnya ditentukan dengan asumsi bahwa waktu awal
dan akhir musim tanam pada keseluruhan area yang menjadi objek kajian adalah
sama. Hal ini tentu tidak realistis dan akan memberikan estimasi yang kurang
akurat.
Dengan demikian parameter tingkat kehijauan tanaman (vegetation index) yang diturunkan
melalui analisis citra satelit dapat digunakan untuk estimasi umur tanaman padi
dan produktivitasnya. Selanjutnya dengan menghitung luas areal tanaman yang
dimonitor pada citra satelit, dapat diestimasi produksi padi yang akan dipanen
di suatu wilayah.
1. 2
Tujuan
dan Kegunaan
Penelitian ini
bertujuan untuk mengembangkan suatu model spasial dalam memprediksi tingkat
pertumbuhan dan produktivitas tanaman padi sawah menggunakan data Citra Satelit
dan pengukuran lapangan. Selanjutnya melakukan verifikasi dengan data yang
terbaru dan hasilnya dibandingkan dengan pengecekan/pengumpulan data lapangan
pada lokasi-lokasi yang diteliti sebagai daerah uji.
Kegunaan
penelitian ini adalah sebagai bahan informasi dalam memprediksi tingkat
pertumbuhan dan produktivitas tanaman padi sawah.
1. 3 Rumusan Masalah
Pada saat ini, sekitar 80% dari lahan sawah telah ditanami
varietas unggul. Varietas unggul berperan penting dalam program peningkatan
produksi padi. Setiap varietas padi yang tumbuh disuatu daerah berbeda sesuai
dengan kondisi lokal. Sehingga penting untuk diketahui tingkat pertumbuhan dan
produktivitas tanaman padi tersebut.
2
Tinjauan
pustaka
2. 1
Botani
Tanaman Padi
Menurut (AAK, 1990) , tanaman padi
diklasifikasikan ke dalam divisio Spermatophytae dengan subdivisio Angiospermae,
digolongkan ke dalam kelas Monocotyledonae, ordo Poales dengan
famili Graminae dengan genus Oryza Linn dan nama spesies Oryza
sativa L. Akar adalah bagian tanaman yang berfungsi menyerap air dan zat
makanan dari dalam tanah. Akar tanaman padi dapat dibedakan menjadi beberapa
bagian yaitu :
1)
Akar tunggang
Akar ini merupakan akar yang
tumbuh pada saat benih berkecambah kemudian akan muncul calon akar maupun calon
batang. Calon akar mengalami pertumbuhan ke arah bawah sehingga akan terbentuk
akar tunggang.
2)
Akar serabut/akar adventif
Akar serabut muncul setelah
terbentuknya akar tunggang yaitu 5-6 hari setelah berkecambah.
3)
Akar rambut
Akar ini merupakan bagian yang
keluar dari akar tunggang dan akar serabut. Akar ini merupakan saluran pada
kulit akar yang berada di luar dan berperan penting dalam penyerepan air maupun
zat-zat makanan.
4)
Akar tajuk
Akar ini
merupakan akar yang terbentuk dari ruas batang terendah.
Pertumbuhan akar pada padi
sawah dimulai dari proses perkecambahan benih. Akar yang pertama muncul yaitu
akar tunggang kemudian setelah 5-6 hari akan tumbuh akar serabut. Akar ini
hanya dapat menembus lapisan tanah bagian atas/ lapisan olah tanah yaitu berkisar antara 10-12 cm. Pada umur 30
hari setelah tanam, akar akan dapat menembus hingga kedalaman 18 cm dan pada
umur 50 hari akar sudah mulai dapat menembus lapisan tanah di bawahnya (sub soil) yaitu berkisar 25 cm. (AAK, 1990)
Daun padi mula-mula muncul
pada saat perkecambahan dan dinamakan coleoptil. Coleptile keluar
dari benih yang disebar dan akan memanjang terus sampai ke permukaan air.
Setelah coleoptile membuka, maka akan diikuti dengan keluarnya daun
pertama, daun kedua dan seterusnya hingga mencapai puncak yang disebut daun
bendera. Sedangkan daun terpanjang biasanya terdapat pada daun ketiga. Daun
bendera merupakan daun yang lebih pendek daripada daun yang di bawahnya, namun
lebih lebar daripada daun sebelumnya. (AAK, 1990)
Menurut (Direktorat Jenderal Pertanian dan Tanaman Pangan, 2012) , Daun tanaman padi tumbuh
pada batang dengan susunan yang berselang-seling, satu daun pada tiap buku.
Pertumbuhan daun yang satu dengan daun berikutnya (daun baru) mempunyai selang
waktu 7 hari dan kemudian akan muncul daun baru lainnya. Tiap daun terdiri atas
:
1. Helaian daun merupakan
bagian yang menempel pada buku melalui pelepah daun dan bentuknya memanjang
seperti pita.
2. Pelepah daun merupakan
bagian yang membungkus ruas di atasnya dan helaian daun ruas berikutnya.
3. Telinga daun (auricle)
terletak pada dua sisi pangkal helaian daun.
4. Lidah daun (ligula)
yaitu struktur segitiga tipis yang terletak pada perbatasan antara helaian daun
dan upih tepat di atas telinga daun.
5. Daun bendera adalah daun
teratas dan biasanya terletak di bawah malai.
Batang tanaman padi mempunyai
batang yang beruas-ruas panjang, memiliki rongga dan berbentuk bulat. Rangkaian
ruas-ruas pada batang padi mempunyai panjang yang berbeda-beda, ruas batang
bawah pendek dan semakin ke atas ruas batang akan semakin panjang. Ruas pertama
dari atas merupakan ruas terpanjang. Diantara ruas batang padi terdapat buku
dan tiap-tiap buku duduk sehelai daun. Batang baru akan muncul pada ketiak
daun, yang semula berupa kuncup kemudian mengalami pertumbuhan, yang pada
akhirnya menjadi batang baru. Batang baru dapat disebut batang sekunder
(kedua), apabila batang tersebut terletak pada buku terbawah. (AAK, 1990)
Anakan muncul pada batang
utama dalam urutan yang bergantian. Anakan primer tumbuh dari buku terbawah dan
memunculkan anakan sekunder. Anakan sekunder ini pada gilirannya akan
menghasilkan anakan tersier. (AAK, 1990)
Anakan terbentuk dari umur 10
hari dan maksimum pada umur 50 – 60 hari sesudah tanam. Sebagian dari anakan
yang telah mencapai batas maksimum akan berkurang karena pertumbuhannya yang
lemah, bahkan mati. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya
disebabkan karena persaingan antara anakan, saling terlindung, kekurangan
nitrogen dan juga jarak tanam. (Direktorat Jenderal Pertanian dan
Tanaman Pangan, 2012)
Bunga padi merupakan bunga
telanjang yang mempunyai satu bakal buah, 6 buah benang sari serta dua tangkai
putik. Bakal buah mengandung air (cairan) untuk kebutuhan lodicula,
warnanya keunguan atau ungu tua. Lodicula merupakan daun mahkota yang
telah berubah bentuk dan berfungsi mengatur pembukaan bunga. Benang sari
terdiri dari tangkai sari, kepala sari dan kandung serbuk. Tangkai sari tipis
dan pendek, sedangkan pada kepala sari terletak kandung serbuk yang berisi
tepung sari (pollen). (Direktorat Jenderal Pertanian dan Tanaman Pangan, 2012)
Bunga padi secara keseluruhan
disebut malai. Malai terdiri dari 8 – 10 buku yang menghasilkan cabang – cabang
primer selanjutnya menghasilkan cabang – cabang sekunder. Dari buku pangkal
malai akan muncul hanya satu cabang primer, tetapi dalam keadaan tertentu buku
tersebut dapat menghasilkan 2 – 3 cabang primer. Jumlah cabang setiap malai
berkisar antara 15 - 20 buah dan setiap malai bisa mencapai 100 - 120 bunga. (Direktorat Jenderal Pertanian dan
Tanaman Pangan, 2012)
Gabah atau buah padi adalah ovary
yang telah masak, bersatu dengan lemma dan palea. Buah ini
merupakan hasil penyerbukan dan pembuahan yang mempunyai bagian-bagian sebagai
berikut :
1. Embrio (lembaga)
Bagian ini terletak pada
bagian lemma dan di dalamnya terdapat daun lembaga (calon batang dan calon
daun) serta akar lembaga (calon akar).
2. Endosperm
Endosperm merupakan bagian dari buah/biji yang besar. Bagian ini terdiri dari
mengandung zat gula, lemak, zat anorganik dan juga protein.
3. Bekatul
Bagian ini merupakan bagian
buah padi yang berwarna coklat.
Menurut (AAK, 1990) Pertumbuhan tanaman padi
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :
a.
Iklim
Tanaman padi dapat hidup baik
di daerah yang berhawa panas dan banyak mengandung uap air. Tanaman padi
membutuhkan curah hujan berkisar 200 mm/bulan atau lebih, dengan distibusi
selama 4 bulan. Sedangkan curah hujan yang dikehendaki pertahun sekitar 1500 -
2000 mm.
Tanaman padi dapat tumbuh pada
dataran rendah sampai dataran tinggi. Di dataran rendah padi dapat tumbuh pada
ketinggian 0 – 650 m dpl dengan temperatur 22,5 0 C – 26,5 0 C sedangkan di
dataran tinggi padi dapat tumbuh baik pada ketinggian antara 650 – 1.500 m dpl
dan membutuhkan temperatur berkisar 18,7 0 C – 22,5 0 C.
Temperatur sangat mempengaruhi
pengisian biji padi. Temperatur yang rendah dan kelembaban yang tinggi pada
waktu pembungaan akan mengganggu proses pembuahan yang mengakibatkan gabah
menjadi hampa. Hal ini terjadi akibat tidak membukanya bakal biji. Temperatur
yang rendah pada waktu bunting juga dapat menyebabkan rusaknya pollen dan
menunda pembukaan tepung sari.
b.
Tanah
Tidak semua jenis tanah cocok
untuk dijadikan areal persawahan. Hal ini dikarenakan tidak semua jenis tanah
dapat dijadikan lahan tergenang air. Padahal dalam sistem tanah sawah, lahan
harus tetap tergenang air agar kebutuhan air tanaman padi tercukupi sepanjang
musim tanam. Oleh karena itu, jenis tanah yang sulit menahan air (tanah dengan
kandungan air pasir tinggi) kurang cocok untuk dijadikan lahan persawahan.
Sebaliknya, tanah yang sulit dilewati air (tanah dengan kandungan lempung
tinggi) cocok untuk dibuat lahan persawahan.
Tanah yang baik untuk areal
persawahan ialah tanah yang mampu memberikan kondisi tumbuh tanaman padi.
Kondisi yang baik untuk pertumbuhan tanaman padi sangat ditentukan oleh
beberapa faktor, yaitu posisi topografi yang berkaitan dengan kondisi
hidrologi, porositas tanah yang rendah dan tingkat keasaman tanah yang netral,
sumber air alam, serta modifikasi sistem alam oleh kegiatan manusia. (Direktorat Jenderal Pertanian dan
Tanaman Pangan, 2012)
Padi dapat tumbuh baik pada
tanah yang ketebalan lapisannya atasnya antara 18 - 22 cm dengan pH tanah
berkisar antara 4 – 7. Pada lapisan tanah atas untuk pertanian pada umumnya
mempunyai ketebalan antara 10-30 cm dengan warna tanah coklat sampai kehitam-hitaman,
tanah tersebut gembur. Sedangkan kandungan air dan udara di dalam pori-pori
tanah masing-masing 25%. (Direktorat Jenderal Pertanian dan
Tanaman Pangan, 2012)
c.
Pupuk Organik
Pupuk organik merupakan pupuk
dengan bahan dasar yang diambil dari alam dengan jumlah dan jenis unsur hara
yang terkandung secara alami. Dapat dikatakan bahwa pupuk organik merupakan
salah satu bahan terpenting dalam upaya memperbaiki kesuburan tanah secara
aman, dalam arti produk pertanian yang dihasilkan terbebas dari bahan-bahan
kimia yang berbahaya bagi kesehatan manusia sehingga aman.
2. 2 Parameter Pertumbuhan Tanaman
2.2.1
Biomassa
Biomassa tanaman
merupakan massa bagian tanaman. Berasal dari kata bio dan mass. Mass adalah
suatu parameter kepadatan dari suatu benda atau zat yang memberikan ukuran
percepatan bila suatu gaya diberikan, berbeda dengan berat, tetapi keduanya
mempunyai hubungan. Biomassa tanaman adalah bahan hidup yang dihasilkan tanaman
yang bebas dari pengaruh gravitasi, sehingga bersifat konstanta tidak seperti
berat yang tergantung pada tempat penimbangan yang berhubungan dengan gaya
gravitasi. (Noer, 2008)
Biomassa tanaman
merupakan ukuran yang paling sering diggunakan untuk menggambarkan dan
mempelajari pertumbuhan tanaman. Ini didasarkan atas kenyataan bahwa taksiran
biomassa (berat) tanaman relatif mudah diukur dan merupakan integrasi antara
dan hampir semua peristiwa yang dialami tanaman. (Noer, 2008)
2.2.2
Tinggi
Tanaman
Tinggi tanaman merupakan
ukuran yang paling sering diamati baik sebagai indikator pertumbuhan maupun
sebagai parameter yang digunakan untuk mengukur pengaruh lingkungan. Tinggi
tanaman diukur dari permukaan tanah sampai ujung daun tertinggi bila malai
belum keluar, dan sesudah malai keluar tingginya diukur dari permukaan tanah
sampai ujung malai tertiggi. Tinggi tanaman adalah suatu sifat baku
(keturunan). Adanya perbrdaan tinggi dari suatu varietas disebabkan oleh suatu
pengaruh keadaan lingkungan. Bila syarat-syarat tumbuh baik, maka tinggi
tanaman padi sawah biasanya 80-120 cm. (Wahyunto W. d., 2000)
2.2.3
Akar
Peranakan akar
dalam pertumbuhan tanaman sama pentingnya dengab tajuk. Sebagai gambaran, tajuk
berfungsi menyediakan karbohidrat melalui proses fotosintesis, maka fungsi akar
adalah menyediakan unsur hara dan air yang diperlukan dalam metabolisme
tanaman. Kira-kira 5-6 hari setelah berkecambah, dari batang yang masih pendek
itu akan keluar akar serabut yang pertama dan dari sejak ini perkembangan
akar-akar serabut tumbuh teratur. (Noer, 2008)
Akar tanaman padi
berfungsi untuk menyerap zat makanan dan air, respirasi dan penopang tegaknya
batang. Akar tanaman padi dapat digolongkan menjadi dua macam, yakni akar
primer dan seminal. Akar primer yaitu akar yang tumbuh dari kecambah biji,
sedangkan akar seminal berupa akar yang tumbuh di dekat buku-buku. Kedua akar
ini tidak mengalami pertumbuhan sekunder. (Wahyunto W. d., 2000)
2.2.4
Batang
Batang padi
bentuknya bulat, berongga dan beruas-ruas. Pada awal pertumbuhannya, ruas-ruas
sangat pendek dan bertumpuk rapat. Setelah memasuki stadium reproduktif, ruas-ruas
memanjang dan berongga. Oleh karena itu stadium reproduktif disebut juga
stadium perpanjangan ruas. Ruas antar batang semakin kebawah semakin pendek.
Pada buku paling bawah tumbuh tunas yang akan menjadi batang sekunder,
selanjutnya batang sekunder akan menghasilkan batang tersier, dan seterusnya.
Peristiwa ini disebut pertunasan. Pembentukan anakan sangat dipengaruhi oleh
unsur hara, sinar, jarak tanam, dan teknik budidaya. (Noer, 2008)
Batang padi tersusun dari rangkain ruas-ruas dan
antara ruas-ruas yang satu dengan yang lainnya dipisahkan oleh buku. Di dalam
ruas batang padi berongga dan bentuknya bulat. Dari atas ke bawah, ruas batang
itu semakin pendek. Ruas-ruas yang terpendek terdapat dibagian bawah dari
batang dan ruas-ruas ini praktis tidak dapat di bedakan sebagai ruas-ruas yang
berdiri sendiri. Batang-batang sekunder ini pada gilirannya nanti menghasilkan
batang-batang tersier dan seterusnya. Peristiwa ini disebut pertunasan atau
penganakan. (Noer, 2008)
2.2.5
Daun
Daun merupakan
organ fotosintetik utama dalam tubuh tanaman, dimana terjadi proses perubahan
energi cahaya menjadi energi kimia dan mengakumulasikan dalam bentuk bahan
kering. Dalam analisis pertumbuhan, perkembangan daun menjadi perhatian utama.
Berbagai ukuran dapat digunakan, seperti pengukuran indeks luas daun, nisbah
luas daun, dan nisbah berat daun pada waktu tertentu. Perubahan-perubahan
selama pertumbuhan mencerminkan perubahan bagian yang aktif berfotosintesis. (Noer, 2008)
Daun memiliki
telinga dan lidah daun, tetapi rumput-rumput lainnya tidak. Seperti
rumput-rumputan lainnya daun padi memiliki tulang daun yang sejajar. Yang
keluar dari biji pertama kali koleoptil, lalu daun pertama, kemudian daun kedua
yang pertama-tama memiliki helaian daun yang lebar dan disusul dengan daun
berikutnya. Daun terakhir disebut daun bendera. (Noer, 2008)
2.2.6
Bunga
Setiap bunga padi memiliki enam kepala sari dan kepala putik bercabang
dua berbentuk sikat botol. Kedua organ seksual ini umumnya siap reproduksi
dalam waktu yang bersamaan. Kepala sari kadang-kadang keluar dari palea dan
lemma jika telah masak. Dari segi reproduksi, padi merupakan tanaman berpenyerbukan
sendiri, karena 95% atau lebih serbuk sari
membuahi sel
telur tanaman yang sama. Setelah pembuahan
terjadi, zigot dan
inti polar yang telah dibuahi
segera membelah diri. Zigot berkembang membentuk embrio dan inti
polar menjadi endospermia. Pada akhir
perkembangan, sebagian besar bulir padi mengadung pati di bagian endospermia. (Noer, 2008)
2.2.7
LAI (Leaf Area Index) atau Indeks Luas Daun
Model spasial untuk prediksi umur dan luas
areal panen atau produksi panen tanaman padi sawah menggunakan data inderaja
TM-Landsat yang telah dihasilkan oleh LAPAN menggunakan parameter Indeks
Vegetasi. (Dirgayahu, -)
Verifikasi model ini menghasilkan keakuratan
yang diperoleh masih dalam batas-batas yang dapat diterima meskipun masih ada
batasan-batasan model untuk dapat dioperasionalkan. Tujuannya adalah untuk mengembangkan
suatu model spasial untuk prediksi umur dan luas panen tanaman padi atau
produksi padi menggunakan data TM-Landsat atau menggunakan kedua parameter
secara serentak yaitu parameter ILD dan NDVI, untuk memperbaiki keakuratan
prediksi dibandingkan dengan keakuratan menggunakan parameter tunggal NDVI. (Dirgayahu, -)
Model spasial berdasarkan Indeks Luas Daun
(ILD) dimaksudkan untuk mengurangi pengaruh dinamika faktor-faktor pengendali
dari perkembangan tanaman di lapangan, yaitu antara lain faktor-faktor
ketersediaan unsur hara dan air, kondisi cuaca seperti suhu dan radiasi surya,
hama, dan penyakit. (Wahyunto H. , -)
Sehingga ILD merupakan indikator utama untuk
mengatasi kelemahan penggunaan indikator NDVI (dapat terjadi NDVI yang sama
pada umur tanaman yang berbeda). Selanjutnya model spasial untuk
pemantauan/prakiraan umur dan luas areal panen, serta produksi dengan
menggunakan pasangan parameter NDVI dan ILD, dapat memperbaiki keakuratan dan
model tidak terbatas hanya untuk sawah irigasi. (Wahyunto H. ,
-)
Salahsatu cara untuk menyederhanakan hubungan
antara perkembangan tanaman dengan ciri reflektansi adalah dengan
mentransformasikan data reflektansi masing-masing kanal spektral menjadi satu
atau lebih peubah baru, kemudian melihat hubungan antara fase pertumbuhan
dengan satu atau lebih peubah baru ini. Hubungan ini digambarkan sebagai
trayektori spektral temporal perkembangan tanaman. Kekhasan hubungan untuk setiap
jenis tanaman memungkinkan untuk mengidentifikasi tanaman dengan lebih teliti. (Aulia Hafizh,
2013)
Nilai baur dalam citra yang dihasilkan,
merupakan transformasi nilai-nilai reflektansi dari satu atau beberapa kanal
citra menjadi suatu bilangan. Sebagai contoh dapat berupa Indeks Vegetasi
(NDVI), Indeks Luas Daun (ILD). (Aulia Hafizh, 2013)
Indeks Luas Daun (ILD) adalah perbandingan
antara luas daun terhadap luas permukaan lahan yang menjadi tempat tumbuh suatu
tanaman. Indeks Luas Daun tidak mempunyai satuan, karenamerupakan perbandingan
antara dua luasan permukaan, atau dapat disebutkan dalam satuan hektar per
hektar. (Aulia Hafizh, 2013)
ILD juga dapat digunakan untuk menduga berbagai
informasi pentingberkaitan dengan vegetasi seperti laju fotosintesis, laju
transformasi dan laju respirasi, alokasi karbon di atas dan di bawah permukaan
tanah,serta laju dekomposisi nitrogrn dan mineral. Selain itu ILD adalah variabel
penting dalam perhitungan proses biogeokimia hutan seperti: evaporasi dan
intersepsi tajuk, transpirasi, dan kandungan nitrogen tajuk. ILD merupakan
peubah struktural tunggal yang banyak digunakan untuk menghitung karakteristik
pertukaran energi dan massa dari sebuah ekosistem teresterial. (Darmawan,
2012)
Nilai ILD padi akan meningkat dengan
berkembangnya tanaman padi dan mencapai nilai maksimum pada saat awal masa
generatif. Nilai ILD bervariasi tergantung pada cara bertanam, misalnya menanam
dengan jarak yang rapat dan dengan pemberian Nitrogen tinggi, maka nilai ILD
dapat mencapai 10 atau lebih besar. (Darmawan, 2012)
Nilai ILD tanaman padi dapat ditentukan melalui
pengukuran, dengan dua cara, yaitu secara langsung dan tidak langsung.
Pengukuran secara langsung dilakukan dengan mengukur di lapangan luas setiap
helai daun padi pada setiap rumpun kemudian dibagi dengan luas areal pertanaman
padi yang digunakan sebagai media tumbuh. Pengukuran langsung memberikan nilai
ILD yang lebih akurat, namun memerlukan waktu, tenaga, dan biaya yang cukup
besar. Pengukuran secara tidak langsung menggunakan data satelit penginderaan
jauh. Dengan cara ini dapat diduga besarnya nilai ILD. (Wahyunto S.
R., 2003)
Pengukuran nilai ILD secara langsung di
lapangan dapt dilakukan dengan dua pendekatan yaitu pendekatan alimetris dan
pendekatan radiasi. Pendekatan alometris adalah pendekatan yang menggunakan
parameter tumbuhan seperti luas daun dan berat untuk mendapatkan nilai luas
daun spesifik. Kemudian melalui prosedur penimbangan dan pengukuran jarak
tanaman maka diperoleh hasil perhitungan nilai Indeks Luas Daun. Pendekatan
radiasi adalah dengan cara mengukur perbedaan nilai intensitas radiasi pada dua
ketinggian yang berbeda, sekaligus menunjukkan kemampuan penetrasi radiasi atau
sifat-sifat tipe vegetasi. (Darmawan, 2012)
Pengukuran nilai ILD melalui data inderaja
satelit diestimasi berdasarkan pantulan energi yang mengenai canopi vegetasi.
Besarnya intensitasnya sangat tergantung padapanjang gelombang dan komponen
vegetasi, seperti daun. Bayangan canopi dari tanaman terlihat sangat gelap pada
panjang gelombang sinar tampak. Hal ini terjadi karena daun menyerap radiasi
sangat besar. Pada infra merah dekat, bayangan canopi tanaman cukup gelap oleh
karena absorbsi oleh daun lebih ringan. Luas relatif ketiga komponen tersebut
menentukan pantulan dari total kanopi. Nilai ILD Vegetasi berkorelasi negatif
dengan pantulan merah. (Darmawan, 2012)
Penelitian-penelitian terdahulu menggunakan
data inderaja satelit menunjukkan adanya korelasi nyata antara ILD untuk vegetasi
alam dengan kombinasi NIR/RED. Parameter NDVI yang diturunkan dari data
inderaja satelit dapat digunakan untuk menduga ILD. Ada 12 macam metoda
transformasi Indeks Vegetasi menggunakan data satelit, yang biasa digunakan
untuk identifikasi dan pemantauan tanaman pertanian, seperti padi, jagung,
singkong, kacang kedelai dan lain sebagainya. Salahsatu dari metode tersebut
untuk menentukan Indeks Luas Daun dengan menggunakan data TM-Landsat
diformulasikan sebagai berikut (Aulia Hafizh, 2013) :
ILD = 2,677 – 3,694
(TM1/TM2) – 2,309 (TM1/TM3) + 5,75
(TM1/2*TM4) +
0,043 (TM2/TM3) – 2,692 (TM2/2*TM4) + 3,071 ((TM1/TM2) –
(TM1/2*TM4))*(TM1/TM2)
Keterangan :
TM1, TM2, TM3, TM4 adalah nilai digital (tingkat keabuan) dari tanaman pada citra Landsat berturut-turut
pada kanal 1, 2, 3, dan 4.
Hubungan antara nilai NDVI dan ILD dapat
diturunkan dengan asumsi sebagai berikut :
a.
Bahwa hubungan antara ILD dan NDVI
adalah linier
b.
Bahwa nilai NDVI maksimum yang
ditransformasikan dari citra sesuai dengan nilai maksimum ILD dari tanaman yang
diamati.
Berdasarkan kedua asumsi tersebut, membangu
model empiris NDVI-ILD untuk mendapatkan nilai ILD dari nilai NDVI, seperti
persamaan dibawah ini:
ILD = ILD maks * (NDVI – NDVI maks)/(NDVI maks – NDVI min).
Perhitungan
LAI (Leaf Area Index) atau Indeks
Luas Daun menggunakan metode panjang kali lebar didasarkan atas hubungan
panjang (P), lebar daun (L) dan konstanta (k). ILD merupakan ratio antara total luas daun dengan luas lahan
yang tertutupi oleh tajuk tanaman. ILD sangat penting peranannya dalam proses
asimilasi fotosintetik karbon sehingga pendugaan ILD sangat penting dalam
memberikan gambaran pertumbuhan potensial tanaman. ILD juga merupakan penentu
dalam biomassa tanaman. (Aulia Hafizh, 2013)
Harga ILD dapat diperoleh secara langsung
dengan cara pengukuran total luas daun dari suatu luas sampel tanaman yang
telah ditentukan. Menurut Chen (1997), Indeks Luas Daun (ILD) adalah luas daun
(A) pada tiap satuan luas lahan (P) yang dinyatakan secara matematik:
ILD =
Dimana
: A=luas daun (m2)
P=luas lahan (m2)
2. 3
Vegetation Index
(VI)
Indeks Vegetasi merupakan kombinasi pengukuran dua
atau lebih band spectral dari spectrum gelombang electromagnetik yang berbeda
untuk menghasilkan informasi tentang tutupan lahan di permukaan bumi. Indeks
vegetasi yang diperoleh dari citra satelit, merupakan salahsatu sumber
informasi penting untuk memonitor kondisi sebuah vegetasi. Suatu vegetasi
dikatakan subur, jika mengandung Clorophil
(zat hijau daun) dalam jumlah besar sehingga aktif berfotosintesis atau dengan
kata lain, aktif menyerap karbon. Fenomena penyerapan cahaya merah oleh
klorofil ( 0,4μm – 0,7μm) pada vegetasi dan pemantulan cahaya inframerah dekat
oleh jaringan mesofil ( 0,7μm – 1,1μm) pada daun akan membuat nilai kecerahan
yang diterima sensor berbeda. Sebuah satelit remote sensing, bisa mendeteksi
seberapa optimal suatu tumbuhan menyerap karbon, dikarenakan adanya
karakteristik yang berbeda pada saat tumbuhan dalam menyerap dan memantulkan
spectrum gelombang tertentu (NIR dan RED) pada gelombang yang dipancarkan oleh
sensor satelit.
2.3.1
Simple Ratio Vegetation Index
(SR)
Simple
Ratio Vegetation Index
(SR) pertama kali dikembangkan oleh Jordan (1969). Simple Ratio memanfaatkan perbedaan karakteristik antara tumbuhan
subur dan tidak subur, ketika bereaksi pada radiasi spektrum gelombang NIR dan
RED. Dari fenomena tersebut, dibuat rasio dengan menggunakan perbandingan NIR dan
RED dari sebuah citra yang terekam. Kelebihan dari metode ini adalah mengurangi
pengaruh efek atmosfir dan efek dari topografi. Kekurangan dari indeks vegetasi
SR adalah mudah tersaturasi di daerah dengan densitas vegetasi yang padat.
Range nilai dari SR mulai 0 sampai 30.
SR = (NIR/RED)
2.3.2
Normalized Difference Vegetation Index
(NDVI)
Normalized
Difference Vegetation Index diperkenalkan oleh Rouse et al. (1974) dengan tujuan memodifikasi indeks Simple Ratio (SR) dimana indeks Simple
Ratio menunjukkan nilai yang terlalu besar untuk daerah dengan densitas
vegetasi tinggi. Indeks ini menggunakan rasio antara band NIR dan RED dengan
persamaan dinormalisasi. NDVI merupakan indeks vegetasi yang paling banyak digunkan
karena kemampuannya untuk meminimalisir kesalahan akibat buruknya kondisi
topografi. NDVI juga disukai karena perhitungannya yang linear dan sederhana.
Skala NDVI memiliki rentang -1 sampai 1, dimana nilai 1 menunjukkan daerah yang
kaya akan vegetasi, nilai 0 menunjukkan keadaan sangat sedikit vegetasi, dan nilai
-1 menunjukkan daerah bukan vegetasi.
NDVI = (NIR –
RED)/(NIR + RED)
2.3.3
Soil Adjusted Vegetation Index
(SAVI)
Area dengan kondisi vegetasi yang minim,
menonjolkan warna tanah yang cukup dominan. Hal ini bisa menyebabkan kesalahan
pada proses perhitungan yang melibatkan indeks vegetasi. Soil Adjusted Vegetation Index (SAVI) diperkenalkan oleh Huete
(1988). SAVI merupakan modifikasi dari NDVI. SAVI bertujuan untuk meminimalisir
kesalahan dari variasi warna tanah dengan melibatkan faktor koreksi L pada
persamaan umum NDVI. Faktor koreksi L bervariasi tergantung dari karakteristik
reflektansi dari tutupan vegetasi. Untuk daerah dengan tingkat densitas
vegetasi yang sangat rendah, dipilih nilai faktor koreksi L sebesar 1. Untuk
daerah dengan tingkat dnsitas vegetasi yang sangat tinggi, dipilih nilai faktor
koreksi L sebesar 0,25. Faktor koreksi L = 0,5. Paling banyak digunakan karena
dapat mengakomodasi daerah vegetasi rendah dan tinggi.
SAVI = 1,5 (NIR – RED)/(NIR + RED + 0,5)
2.3.4
Modified Soil-Adjusted Vegetation Index
(MSAVI)
Modified
Soil Adjusted Vegetation Index (MSAVI) pertama kali diperkenalkan oleh Qi et al. (1994). MSAVI adalah
indeks vegetasi yang berbasis dari modifikasi faktor koreksi L dari SAVI. Kedua
Indeks Vegetasi ini bertujuan untuk memperbaiki tingkat kecerahan warna tanah
dari tutupan vegetasi yang berbeda. Faktor koreksi L mengalami penurunan nilai
pada vegetasi dengan densitas rendah dan sedang. MSAVI memodifikasi faktor
koreksi L untuk memperbaiki noise warna tanah yang tidak terkoreksi pada NDVI
dan memperbaiki akurasi nilai pada vegetasi dengan desitas tinggi.
MSAVI = (2NIR + 1 – [(2NIR + 1)2 – 8 (NIR – RED)]0,5)/2
2.3.5
Green Vegetation Index
(GVI)
Green
Vegetation Indeks
ditemukan oleh Kauth and Thomas pada tahun1976 terdiri dari persamaan linear
yang memiliki koefisien positif pada spektrum gelombang tampak dan koefisien
negatif pada gelombang inframerah dekat yang diperkirakan daat meminimalisir
efek dari warna tanah dan lebih sensitif terhadap zat hijau daun.
GVI = BG – G – R +
NIR + MIR – SWIR
2. 4 Penginderaan Jauh (Remote
Sensing)
2.4.1
Pengenalan
Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh merupakan suatu ilmu atau teknologi untuk memperoleh
informasi atau fenomena alam melalui analisis suatu data yang diperoleh dari
hasil rekaman obyek, daerah atau fenomena yang dikaji. Perekaman atau pengumpulan
data penginderaan jauh (inderaja) dilakukan dengan menggunakan alat pengindera
(sensor) yang dipasang pada pesawat terbang atau satelit (Lilesand.
T.M, 2004)
Teknologi Penginderaan Jauh (Inderaja) semakin berkembang melalui
kehadiran berbagai sistem satelit dengan berbagai misi dan teknologi sensor.
Aplikasi satelit penginderaan jauh telah mampu memberikan data/informasi
tentang sumberdaya alam dataran dan sumberdaya alam kelautan secara teratur dan
periodik. Salah satu keuntungan dari
data citra satelit untuk deteksi dan inventarisasi sumberdaya lahan pertanian
adalah setiap lembar (scene) citra
ini mencakup wilayah yang sangat luas yaitu sekitar 60–180 km2 (360.000–3.240.000 ha). Dengan mengamati daerah yang sangat luas
sekaligus, beserta keadaan lahan yang mencakup topografi/relief, pertumbuhan
tanaman/vegetasi dan fenomena alam yang terekam dalam citra memberi peluang
untuk mengamati, mempelajari pengaruh iklim, vegetasi, litologi dan topografi
terhadap penyebaran sumberdaya lahan dan lahan pertanian. (Lilesand. T.M, 2004)
Ketersediaan data Inderaja/citra satelit dalam bentuk digital
memungkinkan penganalisaan dengan komputer secara kuantitatif dan konsisten.
Selain itu data Inderaja dapat digunakan sebagai input yang independen untuk verifikasi
lapangan. (Purwadhi, 2001)
Dengan teknologi Inderaja, penjelajahan lapangan dapat dikurangi, sehingga
akan menghemat waktu dan biaya bila dibanding dengan cara teristris di
lapangan. Pemanfaatan teknologi Inderaja di Indonesia perlu lebih dikembangan
dan diaplikasikan untuk mendukung efisiensi pelaksanaan inventarisasi sumberdaya
lahan/tanah dan identifikasi penyebaran karakteristik lahan pertanian (lahan
sawah, lahan kering, lahan rawa, lahan
tidur, lahan kritis, estimasi produksi) terutama pada wilayah sentra produksi
pangan. Keragaman data dan informasi lahan pertanian dan produksinya mulai
dirasakan pada tahun 1980-an. (Purwadhi, 2001)
Penyebaran, kondisi serta perubahan lahan pertanian tidak dapat
diketahui secara pasti tanpa bantuan teknologi yang lebih maju. Laju
pertumbuhan penduduk yang tinggi (1,6% per tahun) menyebabkan perubahan
penggunaan lahan dengan cepat, sehingga inventarisasi dan pemantauan penggunaan
lahan yang dilaksanakan secara teristris (ground
base method) sering tidak dapat mengikuti laju perubahannya. Dalam usaha
pemantapan ketahanan pangan dan pengadaan stok pangan nasional, pada era
globalisasi informasi dituntut ketepatan, kecepatan penyampaian data sumberdaya
pertanian. Teknologi Inderaja memungkinkan untuk digunakan dalam deteksi
penyebaran lahan pertanian, dan hasilnya merupakan sumber informasi utama dalam
pemutakhiran dan pembaharuan (updating)
data sumberdaya pertanian. (Purwadhi, 2001)
Analisis data Inderaja merupakan suatu kegiatan untuk mengenali kembali
segala kenampakan obyek yang berhasil ditangkap oleh alat sensor yang dibawa
satelit. Kenampakan citra dalam penyajian detil/data dipengaruhi oleh tingkat resolusi.
Resolusi adalah daya pisah citra, yakni ukuran terkecil obyek yang masih dapat
dikenali citra. Makin kecil obyek yang dapat dikenali atau makin tinggi
resolusinya, kualitas citra semakin baik. Untuk citra satelit Landsat Thematic Mapper (TM ) mempunyai resolusi 30 x 30 meter (satu pixel = pixel element) artinya obyek
yang ukurannya lebih kecil dari 30 m tidak dapat dikenali (tidak tampak) dalam
citra, sehingga lahan sawah yang ukurannya kurang dari 30x30 meter tidak akan
tampak/dikenali pada citra satelit. Penggunaan lahan tidak dapat langsung
dikenali pada citra satelit, tetapi melalui vegetasi atau tanamannya. Salah
satu kunci interpretasi yang penting untuk mengenali adanya lahan sawah di
suatu daerah adalah identifikasi tanaman padi. (Lilesand. T.M, 2004)
Pixel (Picture element)
adalah sebuah daerah yang merupakan elemen yang paling kecil yang terdapat pada
citra satelit. Masing-masing pixel mewakili luas daerah yang diindera
dipermukaan bumi dan memiliki nilai pantulan atau karakteristik spektral
berbeda yang tercermin dalam Digital
Number (DN). Nilai digital merupakan skala warna yang biasanya ditampilkan
dalam bentuk gray scale atau derajat
keabuan (berkisar antara putih dan hitam). (Jensen, 2004)
Digital Number (DN) pada citra dapat menunjukkan berbagai jenis data berdasarkan
sumber datanya. Untuk data satelit seperti Landsat dan Spot, DN menunjukkan
intensitas cahaya yang dipantulkan padasetiappanjang gelombang (Visible, infrared, atau gelombang
lainnya). Untuk data citra radar (synthetic
aperture Radar-SAR) DN menunjukkan kekuatan pantulan radar kembali ke
antena. Untuk data digital terrain model (DTM), DN menunjukkan ketinggian bumi. (Jensen, 2004)
Tanaman padi dikenali didalam analisis citra satelit melalui fase pertumbuhannya,
yang terdiri atas: fase air (pengolahan tanah/penggenangan), fase vegetatif,
fase malai/ pengisian butir, fase panen dan fase bera (pasca panen). Dengan
demikian sawah mempunyai kenampakan yang selalu berubah-ubah. Tahapan analisis
citra satelit untuk deteksi dan estimasi luas area lahan sawah dan tipe penggunaan/penutupan
lahan serta estimasi akurasi hasil analisis adalah seperti berikut ini:
a.
Memilih
Kombinasi Band
Gelombang elektromagnetik yang digunakan sebagai
media untuk merekam data/obyek mencakup gelombang tampak mata (visible light)
dan merah infra (infra red), yang
kemudian dikelompokkan kedalam wilayah-wilayah
yang lebih sempit dengan kisaran panjang
gelombang tertentu, yang disebut band, channel
atau saluran.
Dalam analisis atau klasifikasi data digital
citra satelit perlu dicari gabungan (composite)
dari 3 band yang tampilan datanya dapat memberikan gambaran dan detil
informasi yang jelas dan tajam tentang
penggunaan lahan/vegetasi, tanaman termasuk lahan pertanian. Pemilihan
kombinasi band yang cocok untuk identifikasi penggunaan/penutupan lahan dapat
dilakukan dengan menghitung nilai Optimum
Index factor.
b.
Analisis
Data Digital Citra Satelit Sesuai dengan Kombinasi Band terpilih
Analisis citra satelit untuk identifikasi dan
inventarisasi lahan sawah dan penggunaan/penutupan lahan, dilakukan dengan integrasi
beberapa metode pendekatan: (i) klasifikasi berdasarkan perbedaan nilai
spektralnya (unsupervised
classification), (ii)
klasifikasi terbimbing (supervised
classification) dengan menggunakan input data/informasi acuan yang dianggap
benar (hasil pengamatan lapangan dan referensi peta). Hasil kedua klasifikasi
tersebut, kemudian digabungkan sehingga
dalam analisis dan klasifikasi citra telah mempertimbangkan masukan
keterpisahan nilai spektral dan data informasi lapangan (hibrid classification). Analisis tersebut secara komputer
mengggunakan paket Program pengolah data citra: Erdas Imagine versi 8.2 dan ER. Mapper versi 6.0.
Dalam proses analisis terlebih dahulu dibuat
daerah-daerah kunci (key areas) yang selanjutnya merupakan daerah-daerah contoh dan file signature. Daerah contoh (sample areas) adalah contoh informasi
kelas-kelas penggunaan/ penutupan lahan yang diklasifikasikan sebagai sawah,
hutan, kebun campuran, tambak, pertanian lahan kering (tegalan), permukiman,
perkebunan dsb. Signature adalah satu
set data statistik yang berupa kisaran nilai spektral/pixel (pixel element) yang mendefinisikan
sebuah daerah contoh/obyek.
Signature tersebut
digunakan untuk mengklasifikasi citra, sehingga signature file digunakan dalam proses klasifikasi. Dalam signature
file ini semua data statistik yang diperlukan tersimpan. Setiap kelas tersebut
kemudian dikarakterisasikan kedalam semua band citra satelit (berdasarkan nilai
spektralnya) untuk membuat signature (pola spektrum). Dalam pembuatan training
sampel, yang dilakukan pertama kali adalah mendigitasi feature
(suatu kenampakan tipe penggunaan lahan atau vegetasi) di layar monitor saat module display bekerja. Setiap training
sample harus berbentuk poligon tertutup yang diberi satu kelas informasi (tipe
penggunan lahan tertentu) berupa nilai pixel antara 0-255. Sebaiknya setiap training
sample luasanminimalnya mencakup pixel berjumlah sepuluh kali jumlah band yang
dipakai untuk klasifikasi. Setelah semua strata lahan pertanian dan penggunaan
lahan yang akan diklasifikasi diambil contoh nilai pixelnya dan dibuat file signature-nya, serta telah diuji keterpisahannya
dan homogenitasnya proses klasifikasi baru dapat dilaksanakan. (Lilesand. T.M, 2004)
Setelah proses analisis dan klasifikasi citra
satelit selesai, hasilnya perlu dicek dan disempurnakan berdasarkan data penggunaan
lahan/vegetasi hasil pengamatan lapangan. Lokasi plot-plot sampel pengamatan
lapangan ini sedapat mungkin dilakukan di daerah yang aksesibilitasnya tinggi
dan dapat mewakili semua kelas yang ada, sehingga informasi mengenai kondisi
lahan pertanian dan penggunaan lahan lainnya dapat diketahui dan dimonitor
secara cepat dan mudah.
Validasi lapangan
(ground truth) dilakukan untuk
mengecek kebenaran hasil analisis, mencakup: pengamatan keadaan lahan sawah,
dan penggunaannya (bero, pengolahan tanah, tanam, siap panen), dan jenis
penggunaan lahan/ vegetasi di sekitarnya. Posisi geografis lokasi pengamatan ditentukan dengan mengukur
koordinat lokasi pengamatan di lapangan menggunakan alat GPS (Global
Positioning System) Logging System. Data/ informasi hasil pengamatan lapangan di daerah
plot-plot sample akan diolah dan di match dengan data citra satelit untuk
sumber informasi utama dalam menyempurnakan hasil analisis dan klasifikasi penggunaan/penutupan
lahan. (Lilesand. T.M, 2004)
c.
Estimasi
Tingkat Ketelitian Hasil Analisis
Estimasi tingkat ketelitian hasil analisis
dilakukan secara statistik (random
sampling). Uji ketelitian/kebenaran analisis dan
klasifikasi dalam deteksi lahan sawah dan penggunaan/ penutupan lahan digunakan
pendekatan point sampling accuracy
berdasarkan confusion matrix untuk
menguji kebenaran hasil deteksi dan klasifikasi pada citra dan kondisi di
lapang. Uji ketelitian analisis dalam deteksi lahan sawah dan penyebarannnya
antara hasil analisis dan kondisi di lapang digunakan pendekatan area sampling accuracy berdasarkan stratified random sampling. (Noer, 2008)
2.4.2
Komponen
Penginderaan Jauh
a. Tenaga
Sumber
tenaga yang digunakan dalam penginderaan jauh yaitu tenaga alami dan tenaga
buatan. Tenaga alami berasal dari matahari dan tenaga buatan biasa disebut
pulsa. Penginderaan jauh yang menggunakan tenaga matahari disebut sistem pasif
dan yang menggunakan tenaga pulsa disebut sistem aktif. Sistem pasif dengan
cara merekam tenaga pantulan maupun pancaran. Dengan menggunakan pulsa kelebihannya
dapat digunakan untuk pengambilan gambar pada malam hari.
b. Objek
Objek
penginderaan jauh adalah semua benda yang ada di permukaan bumi, seperti tanah,
gunung, air, vegetasi, dan hasil budidaya manusia, kota, lahan pertanian, hutan
atau benda-benda yang di angkasa seperti awan
c. Sensor
Sensor
adalah alat yang digunakan untuk menerima tenaga pantulan maupun pancaran
radiasi elektromagnetik. Contohnya kamera udara dan scanner.
d. Detektor
Detektor adalah alat perekam yang terdapat pada
sensor untuk merekam tenaga pantulan maupun pancaran.
e. Wahana
Sarana
untuk menyimpan sensor seperti, pesawat terbang, satelit, dan pesawat ulang
alik.
2.4.3
Sistem
Peginderaan Jauh
Sistem penginderaan jauh dibedakan atas sistem
fotografik dan non fotografik. Sistem fotografik memilikikeunggulan sederhana,
tidak mahal, dan kualitasnya baik. Sistem elektronik kelebihannya memiliki
kemampuan yang lebih besar dan lebih pasti dalam membedakan objek dan proses
analisisnya lebih cepat karena menggunakan komputer.
Pengolahan Citra / Image Processing :
a.
Proses memperbaiki kualitas citra
agar mudah diinterpretasi oleh manusia atau komputer.
b.
Teknik pengolahan citra dengan
mentrasfor-masikan citra menjadi citra lain, contoh : pemampatan citra (image compression)
c.
Pengolahan citra merupakan proses
awal (preprocessing) dari komputer
visi.
Pengenalan pola (pattern recognition) :
a.
Pengelompokkan data numerik dan
simbolik (termasuk citra) secara otomatis oleh komputer agar suatu objek dalam
citra dapat dikenali dan diinterpreasi.
b.
Pengenalan pola adalah tahapan
selanjutnya atau analisis dari pengolahan citra
1.
Perbaikan kualitas citra (image enhacement)
Tujuannya adalah memperbaiki kualitas citra dengan memanipulasi
parameter-parameter citra.
Operasi perbaikan citra :
1.
Perbaikan kontras gelap/terang
2.
Perbaikan tepian objek (edge
enhancement)
3.
Penajaman (sharpening)
4.
Pemberian warna semu(pseudocoloring)
5.
Penapisan derau (noise filtering)
2.
Pemugaran citra (image restoration)
Tujuannya adalah menghilangkan cacat pada citra. Perbedaannya dengan perbaikan
citra yaitu penyebab degradasi citra diketahui.
Operasi pemugaran citra :
1. Penghilangan
kesamaran (deblurring)
2. Penghilangan derau (noise)
3.
Pemampatan citra (image compression)
Tujuannya adalah citra direpresentasikan dalam bentuk lebih kompak,
sehingga keperluan memori lebih sedikit namun dengan tetap mempertahankan
kualitas gambar (misal dari .BMP menjadi .JPG)
4.
Segmentasi citra (image segmentation)
Tujuannya adalah memecah suatu citra ke dalam beberapa segmen dengan suatu
kriteria tertentu. Berkaitan erat dengan pengenalan pola.
5.
Pengorakan citra (image analysis)
Tujuannya adalah menghitung besaran kuantitatif dari citra untuk
menghasilkan deskripsinya. Diperlukan untuk melokalisasi objek yang diinginkan
dari sekelilingnya.
Operasi pengorakan citra :
1.
Pendeteksian tepi objek (edge
detection)
2.
Ekstraksi batas (boundary)
3.
Represenasi daerah (region)
6. Rekonstruksi
citra (Image recontruction)
Tujuannya adalah membentuk ulang objek dari beberapa citra hasil proyeksi. Elemen dasar citra adalah berupa :
1.
Kecerahan (Brightness)
2.
Kontras (Contrast)
3.
Kontur (Contour)
4.
Warna (Color)
5.
Bentuk (Shape)
6.
Tekstur (Texture)
2.4.4
Digitalisasi Citra
Digitalisasi citra adalah representasi citra dari fungsi kontinu menjadi
nilai-nilai diskrit, sehingga disebut Citra Digital. Citra digital berbentuk
empat persegipanjang dan dimensi ukurannya dinyatakan sebagai tinggi x lebar
(lebar x panjang). Citra digital yang berukuran N x M lazimnya
dinyatakan dengan matriks berukuran N baris dan M kolom, dan
masing-masing elemen pada citra digital disebut pixel (picture element)
Contoh : suatu citra berukuran
256 x 256 pixel dengan intensitas beragam pada tiap pixelnya, direpresentasikan
secara numerik dengan matriks terdiri dari 256 baris dan 256 kolom
2.4.5
Sampling
Sampling adalah digitalisasi spasial (x,y). Citra kontinu disampling pada
grid-grid yang berbentuk bujursangkar (kisi-kisi arah horizontal dan vertikal).
Contoh : Sebuah citra
berukuran 10×10 inchi dinyatakan dalam matriks yang berukuran 5 x 4 (5 baris 4
kolom). Tiap elemen citra lebarnya 2,5 inchi dan tingginya 2 inchi akan diisi
dengan sebuah nilai bergantung pada rata-rata intensitas cahaya pada area
tersebut.
Pembagian gambar menjadi
ukuran tertentu menentukan resolusi (derajat rincian yang dapat dilihat) spasial yang diperoleh. Semakin tinggi
resolusinya semakin kecil ukuran pixel atau semakin halus gambar yang diperoleh
karena informasi yang hilang semakin kecil.
Berdasarkan
tenaga yang digunakan sistem penginderaan jauh dibedakan atas tenaga
pancarandan tenaga pantulan. Berdasarkan wahananya dibedakan atas sistem
penginderaan dirgantara (airborne)
dan antariksa (spaceborne sistem).
Berdasarkan cara analisis dan interpretasi
datanya, yaitu interpretasi secara visual dan interpretasi secara digital. Data
penginderaan jauh dapat berupa citra foto dan citra digital. Citra aalah
gambaran rekaman suatu objek atau biasanya berupa gambaran objek pada foto. Terdapat
beberapa alasan yang melandasi peningkatan penggunaan citra penginderaan jauh,
sebagai berikut:
1.
Citra
menggambarkan objek, daerah, dan gejala di permukaan bumi dengan wujud dan
letaknya yang irip dengan di permukaan bumi.
2.
Citra
menggambarkan objek, daerah, dan gejala yang relatif lengkap, meliputi daerah
yang luas dan permanen.
3.
Dari jenis
citra tertentu dapat ditimbulkan gambaran tiga dimensi apabila pengamatannya
dilakukan stereoskop.
4.
Citra dapat
dibuat secara cepat meskipun untuk daerah yang sulit dijelajahi secara
teresterial.
Citra
foto dapat dianalisis secara visual. Citra foto dibedakan berdasarkan spektrum
elektromagnetik yang digunakan, yaitu:
a.
Foto
ultraviolet, foto yang dibuat dengan menggunakan spectrum ultraviolet dari
spectrum ultraviolet dekat hingga panjang gelombang 0,29 μm.
b.
Foto
ortokromatik, foto yang dibuat dengan menggunakan spektrum tampak dari saluran
biru hingga sebagian hijau (0,4 μm – 0,56 μm).
c.
Foto
pankromatik, yaitu foto yng dibuat dengan menggunakan seluruh spectrum tampak.
d.
Foto
inframerah asli, yaitu foto yang dibuat dengan menggunakan spectrum infrahmerah
dekat hingga panjang gelombang 0,9 μm dan hingga 1,2 μm bagi film inframerah
dekat yang dibuat secara khusus.
Berdasarkan
kamera yang digunakan,
a.
Foto
tunggal yaitu foto yang dibuat dengan kamera tunggal
b.
Foto jamak,
yaitu beberapa foto yang dibuat pada saat yang sama dan menggambarkan daerah
liputan sama. Foto jamak dapat dibuat dengan tiga cara, yaitu dengan
multikamera tatu beberapa kamera yang masing-masing diarahkan pada satu daerah
sasaran, kamera multi lensa atau satu kamera dengan beberapa lensa, dan kamera tunggal,
berlensa tunggal dengan pengurai warna.
Berdasarkan warna yang digunakan, foto udara
dibedakan atas:
a.
Foto
berwarna semu (false color) atau foto
inframerah berwarna. Pada foto berwarna semu warna objektidak sama dengan foto.
Objek seperti vegetasi yang berwarna hijau dan banyak memantulkan spectrum
inframerah tampak merah pada foto.
b.
Foto warna
asli (true color), yaitu foto
pankromatik berwarna
Citra
digital dapat dianalisis dengan menggunakan komputer. Berdasarkan Spectrum
elektromagnetik yang digunakan, yaitu:
a.
Citra
inframerah termal yaitu citra yang dibuat dengan spektrum inframerah termal.
b.
Citra radar
dan citra gelombang mikro, yaitu citra yang dibuat dengan spectrum gelombang
mikro.
Berdasarkan wahananya,
dibedakan
a.
Citra
dirgantara(airborne image) yaitu
citra yang dibuat dengan wahana yang beroperasi di udara. Misalnya citra
inframerah termal, citra radar.
b.
Citra
satelit (satellite/space borne image)
yaitu citra yang dibuat dari antariksa atau angkasa luar. Citra satelit
dibedakan berdasarkan penggunaannya, yaitu:
1.
Citra
satelit untuk penginderaan planet, seperti Ranger (AS), viking (AS), luna
(Rusia), da venera (Rusia).
2.
Citra
satelit untuk penginderaan cuaca, misalnya citra NOAA (AS), dan citra meteor
(Rusia).
3.
Citra
satelit untuk penginderaan sumberdaya bumi, seperti Landsat (AS), Soyus (Rusia)
dan SPOT (Perancis).
4.
Citra
satelit untuk penginderaan laut, seperti Seasat (AS) dan citra MOS (Jepang)
2. 5 Interpretasi Citra
Interpretasi
citra adalah perbuatan mengkaji foto udara atau citra dengan maksud untuk
mengidentifikasi objek dan menilai arti pentingnya objek tersebut. Didalam
pengenalan objek yang tergambar pada citra, ada tiga rangkaian kegiatan yang
diperlukan, yaitu deteksi, identifikasi, dan analisis. Deteksi ialah pengamatan
atas adanya objek, identifikasi ialah upaya mencirikan objek yang telah
dideteksi dengan menggunakan keterangan yang cukup, sedangkan analisis ialah
tahap mengumpulkan keterangan lebih lanjut.
a.
Interpretasi
Visual
Interpretasi
visual dilakukan pada citra hardcopy
ataupun citra yang tertayang pada monitor komputer. Interpretasi visual adalah
aktivitas visual untuk mengkaji gambaran muka bumi yang tergambar pada citra
untuk tujuan identifikasi objek dan menilai maknanya.
Unsur
interpretasi citra terdiri atas sembilan unsur, yaitu rona atau warna, ukuran,
bentuk, tekstur, pola, tinggi, bayangan, situs, dan asosiasi dan konvergensi
bukti.
a.
Rona dan
warna (tone/color)
Rona ialah tingkat
kegelapan atau kecerahan objek pada citra. Adapun warna adalah wujud yang
tampak oleh mata. Rona ditunjukkan dengan gelap – putih. Ada tingkat kegelapan
warna biru, hijau, merah, kuning, dan jingga. Rona dibedakan atas lima tingkat,
yaitu putih, kelabu putih, kelabu, kelabu hitam, dan hitam.
Karakteristik objek
yang mempengaruhi rona, permukaan yang kasar cenderung menimbulkan rona yang
gelap, objek yang basah/lembab cenderung menimbulkan rona gelap. Contoh pada
foto pankromatik air akan tampak gelap, atap seng dan asbes yang masih baru
tampak rona putih, sedangkan atap sirap ronanya hitam.
b.
Bentuk (shape)
Bentuk merupakan atribut yang jelas sehingga banyak objek yang
dapat dikenali berdasarkan bentuknya saja. Seperti bentuk memanjang, lingkaran,
dan segi empat. Contoh gedung sekolah pada umumnya berbentuk huruf I, L, U atau
berbentuk empat persegi panjang.
c.
Ukuran (size)
Berupa jarak, luas, tinggi, lereng, dan volume, selalu berkaitan
dengan skalanya. Ukuran rumah sering mencirikan apakah rumah itu rumah mukim,
kantor, atau industri. Contoh rumah mukim pada umumnya lebih kecil bila
dibandingkan dengan kantor atau pabrik. Ukuran lapangan sepak bola 80m x 100m,
15m x 30m lapangan tenis, 8m x 15m bagi lapangan bulu tangkis.
d.
Kekasaran (texture)
Teksture adalah halus kasarnya objek pada citra. Contoh pengenalan objek
berdasarkan tekstur
1.
Hutan
bertekstur kasar, belukar bertekstur sedang, semak bertekstur halus
2.
Tanaman
padi bertekstur halus, tanaman tebu bertekstur sedang, dan tanaman pekarangan
bertekstur kasar
3.
Permukaan
air yang tenang bertekstur halus
e.
Pola (Pattern)
Pola adalah hubungan susunan spasial objek. Pola merupakan ciri
yang menandai objek bentukan manusia ataupun alamiah. Pola aliran sungai sering
menandai bagi struktur geologi dan jenis tanah. Misalnya, pola aliran trellis
menandai struktur lipatan. Kebun karet, kelapa sawit, dan kebun kopi memiliki
pola yang teratur sehingga dapat dibedakan dengan hutan.
f.
Bayangan (shadow)
Bayangan bersifat menyembunyikan objek yang berada di daerah
gelap. Bayangan dapat digunakan untuk objek yang memiliki ketinggian, seperti
objek bangunan, patahan, menara.
g.
Situs (site)
Kaitan dengan ligkungan sekitarnya. Tajuk pohon yang berbentuk
bintang menunjukkan pohon palma, yang dapat berupa kelapa, kelapa sawit, enau,
sagu, dipah, dan jenis palma yang lain. Bila polanya menggerombol dan situsnya
di air payau maka dimungkinkan adalah nipah.
h.
Asosiasi (Association)
Asosiasi adalah keterkaitan antara objek yang satu dengan objek
lainnya. Suatu objek pada citra merupakan petunjuk bagi adanya objek lain.
Stasiun kereta api berasosiasi dengan rel kereta api yang jumlahnya bercabang.
Selain bentuknya yang persegi panjang, lapangan bola ditandai dengan situsnya
yang berupa gawang.
i.
Konvergensi
bukti
Konvergensi bukti adalah teknik interpretasi dengan menggabungkan
beberapa unsur interpretasi untuk menemukan objeknya. Misalnya pada foto udara
terdapat pohon yang berbentuk bintang, dengan pola yang tidak teratur, dan
ukurannya 10 meter dan tumbuh di daerah payau (situsnya). Sehingga dapat
dilihat bahwa pohon tersebut adalah sagu.
b.
Interpretasi
Citra Digital
Interpretasi citra digital melalui tahapan-tahapan sebagai
berikut:
1.
Menginstal
terlebih dahulu program Er-Mapper atau ENVI yang merupakan program (software) untuk mengolah citra.
2.
Import
data, mengimport data satelit yang akan digunakan ke dalam format Er Mapper.
3.
Menampilkan
citra, untuk mengetahui kualitas citra yang akan digunakan. Jika kualitas
citranya jelek seperti banyak awan maka proses pengolahan citra tidak
dilanjutkan.
4.
Rektifikasi
data untuk mengoreksi kesalahan geometrik sehingga koordinat citra sama dengan
koordinat bumi.
5.
Mozaik
citra yaitu menggabungkan beberapa citra yang saling bertampalan.
6.
Penajaman
citra yaitu memperbaiki kualitas citra sehingga mempermudah pengguna dalam
menginterpretasi citra.
7.
Komposisi
peta yaitu membuat peta hasil interpretasi citra dengan menambahkan unsur-unsur
peta seperti simbol, legenda, skala, koordinat, dan arah mata angin.
8.
Pencetakan,
yaitu output peta citra yang hasilnya dapat digunakan tergantung keperluan.
2. 6 GPS (Global Positioning System)
GPS adalah
kependekan dari Global Positioning System,
merupakan system navigasi berbasis satelit yang dikembangkan
oleh Departemen Pertahanan Amerika yang
didukung oleh 27 jaringan satelit. GPS terdiri dari 3 segmen:
Segmen angkasa, Segmen kontrol/pengendali, dan Segmen pengguna. Dimana segmen
angkasa terdiri dari 24 satelit yang beroperasi dalam 6 orbit pada ketinggian 20.200
km dan inklinasi 55 derajat dengan periode 12 jam (satelit akan kembali ke
titik yang sama dalam 12 jam). Satelit tersebut memutari orbitnya sehingga
minimal ada 6 satelit yang dapat dipantau pada titik manapun di bumi ini.
Satelit tersebut mengirimkan posisi dan waktu kepada pengguna seluruh dunia.
Setiap satelit
mentransmisikan dua sinyal yaitu L1 (1575.42 MHz) dan L2 (1227.60
MHz). Sinyal L1 dimodulasikan dengan dua sinyal pseudo-random yaitu kode P
(Protected) dan kode C/A (coarse/aquisition). Sinyal L2 hanya membawa kode P.
Setiap satelit mentransmisikan kode yang unik sehingga penerima (perangkat GPS)
dapat mengidentifikasi sinyal dari setiap satelit. Pada saat fitur
Anti-Spoofing diaktifkan, maka kode P akan dienkripsi dan selanjutnya dikenal
sebagai kode P(Y) atau kode Y.
Perangkat
GPS yang dikhususkan buat sipil hanya
menerima kode C/A pada sinyal L1 (meskipun pada
perangkat GPS yang canggih dapat memanfaatkan sinyal L2 untuk memperoleh
pengukuran yang lebih teliti). Perangkat GPS menerima sinyal yang ditransmisikan
oleh satelit GPS. Dalam menentukan posisi, kita membutuhkan paling sedikit 3
satelit untuk penentuan posisi 2 dimensi (lintang dan bujur) dan 4 satelit untuk
penentuan posisi 3 dimensi (lintang, bujur, dan ketinggian). Semakin
banyak satelit yang diperoleh maka akurasi posisi kita akan semakin
tinggi. Untuk mendapatkan sinyal tersebut, perangkat GPS harus berada di ruang
terbuka. Apabila perangkat GPS kita berada dalam ruangan atau kanopi yang lebat
dan daerah kita dikelilingi oleh gedung tinggi maka sinyal
yang diperoleh akan semakin berkurang
sehingga akan suSskar untuk menentukan posisi dengan tepat
atau bahkan tidak dapat menentukan posisi. Melalui GPS kita dapat mengetahui
keberadaan suatu objek di mana pun objek itu berada di seluruh muka bumi baik
di darat, laut maupun udara.
2. 7 Er Mapper
ER Mapper adalah salah satu software
(perangkat lunak) yang digunakan untuk mengolah data citra atau satelit. Masih
banyak perangkat lunak yang lain yang juga dapat digunakan untuk mengolah data
citra, diantaranya adalah Idrisi, Erdas Imagine, PCI dan lain-lain.
Masing-masing perangkat lunak mempunyai keunggulan dan kelebihannya sendiri. ER
Mapper dapat dijalankan pada workstation dengan sistem operasi UNIX dan
komputer PCs (Personal Computers)
dengan sistem operasi Windows 95 ke atas dan Windows NT. (Purwadhi, 2001)
Pengolahan data citra merupakan suatu cara memanipulasi data citra atau
mengolah suatu data citra menjadi suatu keluaran (output) yang sesuai dengan yang kita harapkan. Adapun cara
pengolahan data citra itu sendiri melalui beberapa tahapan, sampai menjadi
suatu keluaran yang diharapkan. Tujuan dari pengolahan citra adalah mempertajam
data geografis dalam bentuk digital menjadi suatu tampilan yang lebih berarti
bagi pengguna, dapat memberikan informasi kuantitatif suatu obyek, serta dapat
memecahkan masalah. (Purwadhi, 2001)
Data digital disimpan dalam betuk barisan kotak kecil dua dimensi yang
disebut pixels (picture elements).
Masing-masing pixel mewakili suatu wilayah yang ada dipermukaan bumi. Struktur
ini kadang juga disebut raster, sehingga data citra sering disebut juga data
raster. Data raster tersusun oleh baris dan kolom dan setiap pixel pada data
raster memiliki nilai digital. (Purwadhi, 2001) .
Data yang didapat dari satelit umumnya terdiri beberapa bands (layers) yang mencakup wilayah yang sama.
Masing-masing bands mencatat pantulan obyek dari permukaan bumi pada panjang
gelombang yang berbeda. Data ini disebut juga multispectral data. Di dalam
pengolahan citra, juga dilakukan penggabungan kombinasi antara beberapa band
untuk mengekstraksi informasi dari obyek-obyek yang spesifik seperti indeks
vegetasi, parameter kualitas air, terumbu karang dan lain-lain. (Purwadhi, 2001)
2.7.1
Aplikasi
Pengolahan Data Citra
Pengolahan data citra adalah bagian penting untuk dapat menganalisa
informasi kebumian melalui data satelit penginderaan jauh. Aplikasi-aplikasi
yang dapat diterapkan melalui pengolahan data citra antara lain:
a.
pemantauan lingkungan
b.
manajemen dan perencanaan kota dan
daerah urban
c.
manajemen sumber daya hutan
d.
eksplorasi mineral
e.
pertanian dan perkebunan
f.
manajemen sumber daya air
g.
manajemen sumber daya pesisir dan
lautan
h.
oseanografi fisik
i.
eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi
2.7.2
Pengolahan
Data Citra
Pengolahan data citra dimulai pada tahun 1960-an untuk memproses citra dari
satelit yang mengelilingi bumi. Pengolahan data citra dibuat dalam bentuk disk
to disk dimana kita harus menuliskan spesifikasi file yang akan diolah,
kemudian memilih tipe pemrosesan yang akan digunakan, kemudian menunggu
komputer mengolah data tersebut serta menuliskan hasilnya ke dalam file baru.
Jadi sampai final file terbentuk baru kita dapat melihat hasil yang diharapkan,
tetapi bila hasilnya jauh dari yang kita harapkan, maka kita harus mengulangnya
dari awal kembali. Sampai tahun 1980-an proses tersebut masih digunakan oleh
beberapa produk pengolahan data citra.
ER Mapper mengembangkan metode pengolahan citra terbaru dengan pendekatan
yang interaktif, dimana kita dapat langsung melihat hasil dari setiap perlakuan
terhadap citra pada monitor komputer. ER Mapper memberikan kemudahan dalam
pengolahan data sehingga kita dapat mengkombinasikan berbagai operasi pengolahan
citra dan hasilnya dapat langsung terlihat tanpa menunggu komputer
menuliskannya menjadi file yang baru. Cara pengolahan ini dalam ER Mapper
disebut Algoritma.
Algoritma adalah rangkaian tahap demi tahap pemrosesan atau perintah dalam
ER Mapper yang digunakan untuk melakukan transformasi data asli dari hard disk
sampai proses atau instruksinya selesai. Dengan Algoritma, kita dapat melihat
hasil yang kita kerjakan di monitor, menyimpannya ke dalam media penyimpan
(hard disk, dll), memanggil ulang, atau mengubahnya, setiap saat. Oleh karena
Algoritma hanya berisi rangkaian proses, maka file dari algoritma ukurannya
sangat kecil, hanya beberapa kilobyte sampai beberapa megabyte, tergantung
besarnya proses yang kita lakukan, sehingga sangat menghemat ruang hard disk.
Dan oleh karena file algoritma berukuran kecil, maka proses penayangan citra
menjadi relatif lebih cepat. Hal ini membuat waktu pengolahan menjadi lebih
cepat. Konsep Algoritma ini adalah salah satu keunggulan ER Mapper. Selain itu,
beberapa kekhususan lain yang dimiliki ER Mapper adalah :
1.
Didukung dengan 130 format pengimpor
data
2.
Didukung dengan 250 format
pencetakan data keluaran
3.
Visualisasi tiga dimensi
4.
Adanya fasilitas Dynamic Links
5.
Penghubung dinamik (Dynamic Links) adalah fasilitas khusus ER
Mapper yang membuat pengguna dapat langsung menampilkan data file eksternal
pada citra tanpa perlu mengimportnya terlebih dahulu. Data-data yang dapat
dihubungkan termasuk kedalam format file yang populer seperti ARC/INFO, Oracle,
serta standar file format seperti DXF, DON dll.
Selain kelebihan-kelebihan di
atas, ER Mapper memiliki keterbatasan, yaitu :
a.
Terbatasnya format Pengeksport data
b.
Data yang mampu ditanganinya adalah
data 8 bit.
2.7.3
Prosedur
Pengolahan Data Citra
Prosedur pengolahan data citra diawali dengan mengimport data sampai dengan
hasil akhir dalam bentuk cetakan (printing).
Dari beberapa prosedur ini, tidak semua prosedur harus dijalankan untuk
mendapatkan hasil yang sesuai dengan harapan. Untuk beberapa aplikasi dapat
dihasilkan keluaran yang diharapkan tanpa melalui seluruh prosedur pengolahan
citra.
2.7.4
Impor
Data
Langkah pertama dalam pengolahan citra adalah mengimport data satelit yang
akan digunakan ke dalam format ER Mapper. Umumnya data disimpan dalam bentuk magnetic tape, CD-ROM atau media
penyimpanan yang lain. Dua bentuk utama data yang diimport ke dalam ER Mapper
adalah data raster dan vektor.
Data raster adalah tipe data yang menjadi bahan utama kegiatan pengolahan
citra. Contoh data raster adalah citra satelit dan foto udara. Pada saat
mengimport data raster, ER Mapper akan membuat dua files yaitu:
1.
File data binary yang berisikan data
raster dalam format BIL, tanpa file extension.
2.
File header dalam format ASCII dengan extension .ers
Data vektor adalah data yang terseimpan dalam bentuk garis, titik dan
poligon. Contoh data vektor adalah data yang dihasilkan dari hasil digitasi
Sistem Informasi Geografis (SIG) seperti jalan, lokasi pengambilan sampel atau
batas administrasi. ER Mapper juga akan membuat dua file hasil dari mengimport
data vektor:
1.
File data dalam format ASCII
berisikan data vektor
2.
File header dalam format ASCII
dengan extension .erv
2.7.5
Menampilkan
Citra
Setelah proses mengimpor data, selanjutnya adalah menampilkan citra
tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kualitas dari data yang digunakan.
Apabila data/citra tersebut memiliki kualitas yang tidak sesuai dengan
keinginan (berawan, data bergaris, dll) maka kita tidak perlu melanjutkan
proses pengolahan, dan mencari data baru yang memiliki kualitas yang lebih
baik.
Di dalam ER Mapper, cara menampilkan citra disebut Color Mode. Ada beberapa cara untuk menampilkan citra:
1.
Pseudocolor
Displays, menampilkan citra dalam warna hitam dan putih,
biasanya hanya terdiri dari satu layer/band saja.
2.
Red-Green-Blue (RGB),
menampilkan citra melalui kombinasi tiga band, setiap band ditempatkan pada
satu layer (Red/Green/Blue), cara ini disebut juga color composite. Contoh: False
Color Composite RGB 453.
3.
Hue-Saturation-Intensity (HIS),
menampilkan citra melalui kombinasi tiga band, setiap band ditempatkan pada
satu layer (Hue/Saturation/Intensity),
cara ini biasanya digunakan bila kita menggunakan dua macam data yang berbeda,
misalkan data Radar dengan data Landsat-TM
2.7.6
Rektifikasi Data/Geocoding
Data raster umumnya ditampilkan dalam bentuk raw data dan memiliki kesalahan geometrik. Untuk mendapatkan data
yang akurat, data tersebut harus dikoreksi secara geometrik kedalam sistem
koordinat bumi. Ada dua proses koreksi geometrik:
a.
Registrasi, koreksi geometrik antara
citra yang belum terkoreksi dengan citra yang sudah terkoreksi.
b.
Rektifikasi, koreksi geometrik
antara citra dengan peta
2.7.7
Mosaik Citra
Mosaik citra adalah proses menggabungkan/menempelkan dua atau lebih citra
yang tumpang tindih (overlapping)
sehingga menghasilkan citra yang representatif dan kontinyu. Dalam ER Mapper
proses ini dapat dilakukan tanpa membuat suatu file yang besar, kecuali bila
kita ingin menyimpannya menjadi file tersendiri.
2.7.8
Penajaman Citra
Proses penajaman citra dilakukan untuk mempermudah pengguna dalam
menginterpretasikan obyek-obyek yang ada pada tampilan citra. Dengan proses
Algoritma, ER Mapper mempermudah pengguna melakukan berbagai macam proses
penajaman citra tanpa perlu membuat file-file baru yang hanya akan membuat
penuh disk komputer. Jenis-jenis operasi penajaman citra meliputi:
a.
Penggabungan Data (Data fusion), menggabungkan citra dari
sumber yang berbeda pada area yang sama untuk membantu di dalam interpretasi.
Contoh data Landsat-TM dengan data SPOT.
b.
Colodraping,
menempelkan satu jenis data citra di atas data yang lainya untuk membuat suatu
kombinasi tampilan sehingga memudahkan untuk menganalisa dua atau lebih
variabel. Contoh citra vegetasi dari satelit di colordraping di atas citra foto
udara pada area yang sama.
c.
Penajaman kontras, memperbaiki
tampilan citra dengan memaksimumkan kontras antara pencahayaan dan penggelapan
atau menaikan dan merendahkan harga data suatu citra.
d.
Filtering,
memperbaiki tampilan citra dengan mentransformasikan nilai-nilai digital citra,
seperti mempertajam batas area yang mempeunyai nilai digital yang sama (enhance edge), menghaluskan citra dari
noise (smooth noise), dll.
e.
Formula, membuat suatu operasi
matematika dan memasukan nilai-nilai digital citra pada operasi matematika
tersebut., misalnya Principal Component
Analysis (PCA).
f.
Klasifikasi, menampilkan citra
menjadi kelas-kelas tertentu secara statistik berdasarkan nilai digitalnya.
Contoh membuat peta penutupan lahan dari citra satelit Landsat-TM.
2.7.9
Dynamic Links
Penghubung dinamik adalah fasilitas khusus ER Mapper yang membuat pengguna
dapat langsung menampilkan data file eksternal pada citra tanpa perlu
mengimportnya terlebih dahulu. Data-data yang dapat dihubungkan termasuk
kedalam format file yang populer seperti ARC/INFO, Oracle, serta standar file
format seperti DXF, DGN dll.
2.7.10
Komposisi Peta
Komposisi peta memungkinkan pengguna untuk mempresentasikan citra-citra
secara profesional dan penuh arti. Kualitas kartografik peta pada ER Mapper
dapat membuat grid, legenda, bar skala, panah arah utara, logo perusahaan,
legenda klasifikasi.
2.7.11
Pencetakan
Pengguna dapat menghasilkan keluaran suatu citra dengan menggunakan
peralatan pencetakan atau printer yang meliputi printer berwarna, film, printer
hitam putih dan format grafik. Pilihan pencetakan membutuhkan suatu algoritma
yang mendefinisikan semua data dan pengolahannya dengan catatan hanya algoritma
yang telah disimpan yang dapat dicetak. Pastikan kita telah menyimpan algoritma
kita sebelum mencetaknya.
2.7.12
Koreksi Geometrik dan Koreksi Radiometrik
ER Mapper adalah salah satu perangkat lunak yang digunakan untuk
memanipuasi data citra atau mengolah suatu data citra sehingga memberikan output sesuai kebutuhan
pengguna. ER Mapper dapat mempertajam data grafis dalam bentuk digital
menjadi tampilan yang lebih menarik dan dapat memberikan informasi
kuantitatif dari suatu obyek. Dalam pengolahan data citra
menggunakan perangkat lunak seperti ER Mapper dapat ditemua dua kesalahan
yang sehingga dibutuhkan koreksi yaitu koreksi geometric dan koreksi
radiometric. Koreksi geometric merupakan suatu proses yang bertujuan untuk
melakukan transformasi data dari suatu system grid dengan menggunakan suatu transformasi
geometric. Proses tersebut mutlak dilakukan apabila posisi citra akan disesuaikan
dengan peta atau citra lainnya yang juga mempunyai system proyeksi peta (Purwadhi, 2001)
Dengan kata lain koreksi geometric juga merupakan pembetulan mengenai
posisi citra akibat kesalahan geometric. Koreksi geometric dapat dilakukan dengan menggunakan acuan titik
control yang dikenal dengan Ground
Control Point. (Purwadhi, 2001)
Sedangkan koreksi radiometric merupakan proses yang dilakukan untuk
meningkatkan tingkat visibilitas citra sebelum diinterpretasi. Sama dengan koreksi geometric,
koreksi radiometric
merupakan pembetulan citra akibat kesalahan radiometric atau cacat radiometric.
Koreksi radiometric
bertujuan untuk memperbaiki nilai piksel agar sesuai dengan warna asli (Purwadhi, 2001)
Pada saat menggunakan ER Mapper, kotak dialog Null Value harus diisikan angka 0 (nol) dengan tujuan untuk
menghilangkan kajian pada objek yang membutuhkan pembeda (seperti daratan dan
lautan). Nilai nol menunjukan daerah daratan atau daerah yang lebih tinggi
daripada permukaan laut. Langkah ini sangat penting agar objek yang akan di
olah tidak memberi pengaruh pada analisis terhadap objek lain.Ketika akan
melakukan import data pada ER Mapper untuk setiap layer harus dilakukan pegurutan
secara terbalik yaitu dari angka yang lebih besar ke yang lebih kecil. Layer
(band) diisi terbalik dengan tujuan untuk menghasilkan warna dari pencitraan
yang lebih tajam dan hampir sama dengan warna asli objek. (Purwadhi, 2001)
Dalam ER Mapper untuk mengombinasikan citra dari 3 band, cara yang digunakan
yaitu Hue-Saturation-Intensity (HIS).
HIS dapat menampilkan citra kombinasi 3 band, setiap band ditempatkan pada satu
layer. Cara ini biasanya digunakan apabila terdapat dua macam data yang berbeda
yang akan digabungkan. Selain itu terdapat juga cara RGB yang menampilkan citra
melalui kombinasi tiga band dengan setiap band ditempatkan pada setiap layer (Red-Green-Blue). Beberapa istilah yang
sering dijumpai saat mengolah data pencitraan satelit yaitu registrasi citra,
rektifikasi citra, resampling citra dan Ground
Control Points. Registrasi citra merupakan proses menemukan kesesuaian
antara satu piksel dalam suatu gambar dengan piksel dalam gambar lainnya. Dalam hal ini kedua gambar
diperoleh dari lokasi yang sama tetapi waktu pengambilannya berbeda ,menggunakan sensor yang berbeda dengan sudut
pandang yang berbeda pula (Purwadhi, 2001)
Rektifikasi citra merupakan proses melakukan transformasi data dari satu
sistem grid menggunakan suatu transformasi geometrik. Rektifikasi juga dikenal
sebagai koreksi geometric. Oleh karena posisi piksel pada citra output
tidak sama dengan posisi piksel input (aslinya) maka piksel-piksel yangdigunakan
untuk mengisi citra yang baru harus di-resampling
kembali. Resampling adalah suatu
prosesmelakukan ekstrapolasi nilai data untuk piksel-piksel pada sistem grid
yang baru dari nilai piksel citraaslinya. (Purwadhi, 2001)
Ground Control Points (GCP) adalah titik-titik yang letaknya pada suatu posisi piksel citrayang
koordinat petanya (referensinya) diketahui. GCP terdiri atas sepasang koordinat
x dan y, yangterdiri atas koordinat sumber dan koordinat referensi. Koordinat-koordinat
tersebut tidak dibatasi olehadanya koordinat peta. (Purwadhi, 2001)
2. 8 Specktroradiometer
Teknologi
Hiperspektral (hyperspectral technology)
yang juga dikenal dengan istilah Imaging Spectrometer, merupakan kelanjutan
dari teknologi multispektral (multispectral). Sistem Penginderaan
Jauh Hiperspektral merupakan paradigma
baru dalam dunia penginderaan jauh. Teknik ini menggunakan jumlah sensor hyper
alias berlebih sehingga hasil yang didapat lebih detail dan akurat. Untuk
kebutuhan bidang
pertanian
misalnya, dari satelit dapat dikumpulkan data detail mengenai lokasi rawan
hama, lokasi panen, rawan kekeringan, rawan banjir, sampai pendugaan umur tanaman dan penentuan jenis
tanaman. Sementara di bidang pertambangan, teknologi ini mampu mengidentifikasi
jenis jenis material tambang (mineral). (Darmawan, 2012)
Beberapa
dekade yang lalu, teknologi hiperspektral hanya dikenal dikalangan para
peneliti dan pakar. Dengan munculnya sistem airbone hyperspectral imaging
komersial, Teknologi Hiperspeltral telah siap untuk memasuki mainstream penginderaan jauh. Dengan
teknologi ini, kita akan banyak terbantu dalam pekerjaan/penelitian yang
terkait dengan manajemen SDA, Pertanian, eksplorasi mineral dan monitoring
lingkungan. Banyak Manfaat yang ditawarkan teknologi ini, akan tetapi
pemanfaatannya ini memerlukan pemahanan terhadap data alam dan berbagai
startegi pemrosesan dan interpretasi
dari citra tersebut. (Darmawan, 2012)
Teknologi
Hyperspektral merupakan kelanjutan dari multispektral, Sensor Hiperspektral
memanfaatkan jumlah kanal yang jauh lebih banyak dari pada sensor multispektral
dengan resolusi bandwidth yang lebih sempit. Umumnya sensor hyperspektral terdiri
dari 100-200 kanal dengan resolusi bandwidth 5-10 nm. Akan jauh berbeda jika
dibandingkan dengan multispektral yang rata rata hanya terdiri dari 5 - 10 kanal, dengan resolusi bandwidth
yahg lebih besar: 70-400 nm. Dengan kanal kanal yang lebih sempit dengan jumlah
yang jauh lebih banyak, sensor hyperspektral dapat digunakan untuk melakukakan
pemisahan, klasifikasi dan identifikasi objek / material di muka bumi,
sebagaimana objek aslinya. Kemampuan lainnya adalah untuk mendeteksi target
subpixel, yang akan sangat membantu dalam mendeteksi objek dengan resolusi
pixel yang lebih kecil. Gambar 16 menunjukkan bahwa Hiperspektral mampu mendeteksi suatu objek dengan
resolusi pixel yang kecil. Objek berwarna merah – kecil yang ada pada citra
hiperspektral tidak bisa kita
temukan pada
citra multispektral. (Darmawan, 2012)
Instrumen yang
digunakan untuk menangkap objek Hiperspektral di kenal dengan spectrometer
imaging. Pengembangan instumen ini, melibatkan dua teknologi yang berbeda, yang terkait satu dengan yang
lainnya. Spektroskopi (spectroscopy) dan remote imaging (penginderaan)
objek dipermukaan bumi. (Darmawan, 2012)
Spektroskopi
adalah studi tentang cahaya yang dipancarkan
atau dipantulkan oleh material atau kombinasi (campuran) antar material,
yang terkait dengan panjang gelombang sebagai perwakilan dari energi yang
diterima/dipentulkan oleh objek. Sebagai aplikasi dalam inderaja optis, spektroskopi memanfaatkan spektrum cahaya
matahari yang dipantulkan oleh material yang ada dipermukaan bumi, baik yang
bersifat alami maupun buatan manusia. (Darmawan, 2012)
Instrumen dari
spektroskopi ini dikenal dengan nama spektrometer (spectrometer) atau
spektroradiometer (spectroradiometer), yang digunakan untuk mendapatkan
informasi tentang spektrum cahaya yang dipantulkan oleh material uji yang
dilakukakn dilaboraturium. Elemen dispersi optis (seperti prisma) yang ada pada
spektrometer membagi cahaya dalam kanal kanal sempit, kemudian panjang
gelombang yang berdekatan dan energi dari setiap kanal direkam oleh detektor-detektor.
Dengan menggunakan ratusan atau bahkan ribuan detektor, spektrometer dapat
mengukur spektral dari kanal yang panjang gelombangnya berkisar 0.4-2.4 mm
(panjang gelombang dari cahaya tampak sampai Infra merah tengah). (Darmawan, 2012)
Sensor perekam jarak
jauh (Remote Imager) dirancang untuk
dapat mengukur cahaya yang dipantulkan oleh objek pada area berdekatan di
permukaan bumi. Citra yang direkam oleh Sensor perekam ini kemudian diolah oleh
spektormeter yang
ada bumi. (Purwadhi, 2001)
Nilai
Replektan Spektral ( Spectral
Reflectance, selanjutnya disebut spektra)
merupakan perbandingan antara energi yang dipantulkan dengan energi yang sampai pada suatu objek sebagai
fungsi panjang gelombang. Spektra merupakan suatu kwantitas tanpa unit yang
mencakup harga dari 0 sampai 1.0, atau
dapat juga dinyatakan sebagai persentase. Pengukuran spektra dari suatu material uji dilakukan di laboratorium, nilai
energi juga diperhitungkan dalam menentukan nilai spektra dari suatu material
uji. Nilai energi ini diukur secara langsung atau diperoleh dari pengukuran
cahaya yang dipantulkan dari sebuah material standar yang telah diketahui nilai
spektranya. Spektra ini penting, sebagai alat bantu dalam interpretasi citra
hiperspektral. Nilai spektra bervariasi terhadap panjang gelombang untuk hampir
semua material sebab energi pada panjang gelombang tertentu
dihamburkan atau diserap ke tingkat derajat yang berbeda. Variasi spektra
akan tampak jelas ketika kita
membandingkan kurva spektra dengan kurva panjang gelombang untuk material yang
berbeda, seperti yang ditampilkan pada Gambar 18
Bentuk
suatu kurva spektra serta posisi dan kekuatan daya serap kanal dapat digunakan
untuk mengidentifikasi dan memilah material yang berbeda. Sebagai contoh, tumbuh-tumbuhan mempunyai spektra
(daya pantul) lebih tinggi pada kanal
inframerah-dekat
dan memiliki spektra lebih rendah daripada tanah (soil) pada band merah.
Spektra
dari tumbuhan hijau yang sehat mempunyai bentuk yang khusus.
Bentuk kurva dipengaruhi oleh absorbsi dari pigmen hijau (klorofil) dan pigmen daun lainnya.
Klorofil menyerap cahaya tampak dengan sangat efektif tetapi menyerap panjang
gelombang merah dan biru lebih kuat dibanding hijau, sehingga tumbuhan yang sehat
akan berwarna hijau. Lihat Gambar 19.
2.
9
Analisis Data Spasial
Data
spasial merupakan dasar operasional pada sistem informasi geografis. Hal ini terutama dalam sistem informasi geografis yang
berbasiskan pada system digital computer. Sedangkan dalam pengertiannya, data
spasial adalah data yang mengacu pada posisi, obyek, dan hubungan diantaranya
dalam ruang bumi. Data spasial merupakan salah satu item dari informasi, dimana
didalamnya terdapat informasi mengenai bumi termasuk permukaan bumi, dibawah
permukaan bumi, perairan, kelautan dan bawah atmosfir (Rajabidfard dan
Williamson, 2000).
Analisa
spasial merupakan sekumpulan metode untuk menemukan dan menggambarkan
tingkatan/ pola dari sebuah fenomena spasial, sehingga dapat dimengerti dengan
lebih baik. Dengan melakukan analisis spasial, diharapkan muncul infomasi baru
yang dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan di bidang yang dikaji.
Berdasarkan Tujuannya, secara garis besar metode dalam melakukan Analisis
Spasial dapat dibedakan menjadi dua macam:
1. Analisis
Spasial Exploratory
Digunakan untuk
mendeteksi adanya pola khusus pada sebuah fenomena spasial serta untuk menyusun
sebuah hipotesa penelitian. Metode ini sangat
berguna ketika hal yang diteliti merupakan sesuatu hal yang baru,
dimana peneliti belum memiliki banyak pengetahuan tentang fenomena
spasial yang sedang diamati.
2. Analisis
Spasial Confirmator
Dilakukan untuk
mengonfirmasi hipotesa penelitian. Metode ini sangat berguna ketika peneliti
sudah memiliki cukup banyak informasi tentang fenomena spasial yang sedang
diamati, sehingga hipotesa yang sudah ada dapat diuji keabsahannya.
2.9.1
Fungsi Analisa Spasial
Menurut
Nurpilihan dkk, (2011), Fungsi analisis spasial terdiri :
1. Klasifikasi (reclassify)
: fungsi ini mengklasifikasikan kembali suatu data spasial (atau atribut)
menjadi data spasial yang baru dengan menggunakan kriteria tertentu. Misalnya
dengan menggunakan data spasial ketinggian permukaan bumi (topografi),
dapat diturunkan data spasial kemiringan atau gradien permukaan bumi yang
dinyatakan dalam persentase nilai- nilai kemiringan. Nilai-nilai persentase kemiringan
ini dapat diklasifikasikan hingga menjadi data spasial baru yang dapat
digunakan untuk merancang perencanaan pengembangan suatu wilayah. Adapun contoh
kriteria yang digunakan adalah 0-14% untuk pemukiman; 15-29% untuk pertanian
dan perkebunan; 30-44% untuk hutan produksi, dan 45% ke atas untuk hutan,
lindung dan taman nasional. Contoh lain dan manfaat analisis spasial
kesuburan tanah dari data spasial kesuburan tanah dari data spasial kadar air
atau kedalaman air tanah, kedalaman efektif, dan sebagainya.
2. NetWork
(jaringan) : fungsi ini merujuk data spasial titik-titik (point) atau
garis-garis (lines) sebagai suatu jaringan yang tidak terpisahkan. Fungsi
ini sering digunakan, di dalam bidang-bidang transportasi dan utility (misalnya
aplikasi jaringan kabel listrik, komunikasi - telepon, pipa minyak dan gas, air
minum, saluran pembuangan). Sebagai contoh, dengan fungsi analisis spasial network,
untuk menghitung jarak terdekat antara dua titik tidak menggunakan selisih
absis dan ordinat titik awal dan titik akhirnya. Tetapi menggunakan cara lain
yang terdapat di dalam lingkup network. Pertama, cari seluruh kombinasi jalan-jalan
(segrnen-segmen) yang rnenghubungkan titik awal dan titik akhir yang dimaksud.
Pada setiap kornbinasi, hitung jarak titik awal dan akhir dengan
mengakumulasikan jarak-jarak segmen-segmen yang membentuknya. Pilih jarak
terpendek (terkecil) dari kombinasi-kombinasi yang ada.
3. Overlay
: fungsi ini menghasilkan data spasial baru dari minimal dua data spasial yang
rnenjadi masukannya. Sebagai contoh, bila untuk rnenghasilkan wilayah-wilayah
yang sesuai untuk budi daya tanaman tertentu (misalnya padi) diperlukan data
ketinggian perrnukaan bumi, kadar air tanah, dan jenis tanah, maka fungsi
analisis spasial overlay akan dikenakan terhadap ketiga data spasial
(dan atribut) tersebut.
4. Buffering
: fungsi ini akan menghasilkan data spasial baru yang berbentuk poligon
atau zone dengan jarak tertentu dari data spasial yang menjadi
masukannya. Data spasial titik akan menghasilkan data spasial baru yang berupa
lingkaran- lingkaran yang mengelilingi titik-titik pusatnya. Untuk data spasial
garis akan menghasilkan data spasial baru yang berupa poligon-poligon yang
melingkupi garis-garis. Demikian pula untuk data spasial poligon akan
menghasilkan data spasial baru yang berupa poligon-poligon yang lebih besar dan
konsentris.
5. 3D
analysis : fungsi ini terdiri dari sub-sub fungsi yang berhubungan dengan
presentasi data spasial dalam ruang 3 dimensi. Fungsi analisis spasial ini
banyak menggunakan fungsi interpolasi. Sebagai contoh, untuk menampilkan data
spasial ketinggian, tataguna tanah, jaringan jalan dan utility dalam bentuk model 3 dimensi, fungsi
analisis ini banyak digunakan.
6. Digital
image processing : (pengolahan citra digital), fungsi ini dimiliki oleh
perangkat SIG yang berbasiskan raster. Karena data spasial permukaan
bumi (citra digital) banyak didapat dari perekaman data satelit yang berfornat
raster, maka banyak SIG raster yang juga dilengkapi dengari fungsi analisis
ini. Fungsi analisis spasial ini terdiri dari banyak sub-sub fungsi analisis
pengolahan citra digital. Sebagai contoh adalah sub fungsi untuk koreksi
radiometrik, geometrik, filtering,
ciustering dan sebagainya.
2.9.2
Sumber Data Spasial
Data spasial
dapat dihasilkan dari berbagai macam sumber (Nurpilihan, 2011), diantaranya
adalah :
1. Citra
Satelit, data ini menggunakan satelit sebagai wahananya. Satelit tersebut
menggunakan sensor untuk dapat merekam kondisi atau gambaran dari permukaan
bumi. Umumnya diaplikasikan dalam kegiatan yang berhubungan dengan pemantauan
sumber daya alam di permukaan bumi (bahkan ada beberapa satelit yang sanggup
merekam hingga dibawah permukaan bumi), studi perubahan lahan dan lingkungan,
dan aplikasi lain yang melibatkan aktifitas manusia di permukaan bumi.
Kelebihan dari teknologi terutama dalam dekade ini adalah dalam kemampuan merekam
cakupan wilayah yang luas dan tingkat resolusi dalam merekam obyek yang sangat
tinggi. Data yang dihasilkan dari citra satelit kemudian diturunkan menjadi
data tematik dan disimpan dalam bentuk basis data untuk digunakan dalam
berbagai macam aplikasi.
2. Peta Analog,
sebenarnya jenis data ini merupakan versi awal dari data spasial, dimana yang
membedakannya adalah hanya dalam bentuk penyimpanannya saja. Peta analog
merupakan bentuk tradisional dari data spasial, dimana data ditampilkan dalam
bentuk kertas atau film. Oleh karena itu dengan perkembangan teknologi saat ini
peta analog tersebut dapat di scan menjadi format digital untuk kemudian
disimpan dalam basis data.
3. Foto Udara
(Aerial Photographs), merupakan salah satu sumber data yang banyak digunakan
untuk menghasilkan data spasial selain dari citra satelit. Perbedaan dengan
citra satelit adalah hanya pada wahana dan cakupan wilayahnya. Biasanya foto
udara menggunakan pesawat udara. Secara teknis proses pengambilan atau
perekaman datanya hampir sama dengan citra satelit. Sebelum berkembangnya
teknologi kamera digital, kamera yang digunakan adalah menggunakan kamera konvensional
menggunakan negatif film, saat ini sudah menggunakan kamera digital, dimana
data hasil perekaman dapat langsung disimpan dalam basis data. Sedangkan untuk
data lama (format foto film) dapat disimpan dalam basis data harus dilakukan
konversi dahulu dengan mengunakan scanner, sehingga dihasilkan foto udara dalam
format
digital.
4. Data Tabular,
data ini berfungsi sebagai atribut bagi data spasial. Data ini umumnya
berbentuk tabel. Salah satu contoh data ini yang umumnya digunakan adalah data
sensus penduduk, data sosial, data ekonomi. Data tabular ini kemudian di relasikan dengan data spasial
untuk menghasilkan tema data tertentu.
5. Data Survei
(Pengamatan atau pengukuran dilapangan), data ini dihasilkan dari hasil survei
atau pengamatan dilapangan. Contohnya adalah pengukuran persil lahan dengan
menggunakan metode survei terestris.
2. 10 Korelasi Nilai Spectral
Vegetasi dengan Remote Sensing
Besarnya energi elektromagnetik yang terpancar dari setiap objek di permukaan
bumi yang kemudian ditangkap
oleh sensor penginderaan
jauh tergantung dari sifat fisik maupun optik objek itu
sendiri. Respon spektral objek yang terbaca
oleh sensor penginderaan
jauh berkaitan dengan sifat
energi elektromagnetik objek. Parameter yang mempengaruhi pantulan
kanopi vegetasi antara lain :
1. Sifat transmisi dedaunan.
2. Jumlah dan susunan keruangan daun.
3. Karakteristik aspek
vegetasi yang meliputi
aspek batang, tangkai, dan dahan.
4. Karakteristik latar belakang vegetasi
tumbuh.
5. Sudut azimuth, sudut pandang dan sudut
zenith matahari.
Tiga objek
utama yang dapat
di kenali secara
langsung melalui citra penginderaan jauh
adalah vegetasi, tanah,
dan air. Ke
tiga objek ini
jika dilihat dari kurva
pantulan spektralnya memiliki
perbedaan kurva yang cukup signifikan sehingga mudah dalam
identifikasinya. Dari ketiga objek tersebut, vegetasi paling banyak memiliki
variasi pantulan spektralnya yakni tinggi pada saluran hijau, rendah pada
saluran biru dan merah, dan sangat tinggi pada saluran inframerah dekat.
Berikut grafik kurva pantulan spektral
khusus untuk vegetasi.
Secara umum
informasi vegetasi dapat
diperoleh pada wilayah spektral antara 0,4 µm – 2,6 µm
dengan karakteristik sebagai berikut ( (Anonim A. ,
2013)
dalam Swain Davis, 1978):
1.
Gelombang tampak
(0,4 µm – 0,7 µm)
; pigmentasi mendominasi respon spektral pada wilayah ini.
2.
Inframerah dekat
(0,8 µm – 1,2 µm)
; pantulan gelombang
pada panjang gelombang ini tampak meningkat secara jelas karena daun
hijau menyerap sangat sedikit energi pada wilayah ini.
3.
Inframerah tengah
(1,3 µm
– 2,6 µm) ;
air menyerap energi dengan kuat
khususnya pada panjang
gelombang ini. Semakin
berkurang tingkat kelembaban pada daun, pantulan yang terjadi justru
semakin tinggi.
Ketiga aspek
tersebut di atas
menjadi ciri khas
pengenalan objek vegetasi di
permukaan bumi melalui
pendekatan panjang gelombang. Sedangkan tinggi
rendahnya pantulan vegetasi
pada berbagai panjang gelombang dipengaruhi oleh struktur
internal daun, pigmen warna (klorofil), dan kandungan air. Serapan yang tinggi
pada saluran merah dan biru inilah yang membuat mata manusia menangkap warna
hijau pada daun sehat karena saluran
hujau memiliki daya serap
rendah. Lain halnya
dengan daun yang layu
atau tidak sehat.
Kandungan klorofil yang
sedikit, otomatis
mengakibatkan serapan tenaga
pun berkurang sehingga
dengan sendirinya pantulan saluran
merah justru akan
bertambah. Kondisi inilah
yang mengakibatkan daun yang
tidak sehat berwarna
pucat kekuningan. Untuk saluran
inframerah dekat kurva
pantulan akan sangat
tinggi untuk daun sehat.
Hal ini sebagai
akibat dari berkurangnya
serapan energy dan bertambahnya pantulan yang justru
didominasi oleh kandungan air. Karena daun hijau memiliki kandungan air yang
tinggi maka pantulan pada saluran inframerah
dekat inipun sangat
dominan, bahkan lebih
tinggi dari saluran hijau. Dengan
demikian daun sehat
memiliki pantulan tinggi
pada saluran hijau dan sangat
tinggi pada saluran inframerah dekat.
2.10.1
Reflektansi Gelombang
Elektromagnetik Tanaman
Telah banyak
penelitian yang dilakukan untuk menentukan parameter tanaman oleh Penginderaan
Jauh memanfaatkan fitur spektral reflektansi daun. Semua peristiwa tentang
energi cahaya di permukaan apapun dicerminkan, diserap atau dikirimkan.
Reflektansi adalah rasio jumlah cahaya yang dipantulkan dari pesawat untuk
radiasi ke pesawat tersebut (Suits, 1983). Myers (1983) menyatakan bahwa
Willstätter dan Stoll (1918) menentukan bahwa reflektansi cahaya pada daun dan
transmisi berdasarkan refleksi kritis dari cahaya tampak pada dinding sel udara
antar muka pada jaringan mesofil spons. (Tanriverdi, KSU, Fakultesi, Bolumu, &
Kahramanmaras, 2006) .
Menurut (Tanriverdi, KSU, Fakultesi, Bolumu, &
Kahramanmaras, 2006) Menyatakan bahwa untuk memudahkan
interpretasi, yang 0,5-2,5 pM spektrum
panjang gelombang dipisahkan menjadi tiga berikut bagian:
1.
Panjang gelombang
spektrum antara 0,5-0,75 pm daerah penyerapan cahaya tampak didominasi oleh pigmen klorofil a dan b,
karoten, dan pigmen xantofil;
2.
Panjang gelombang
spektrum antara 0,75 sampai l .35 pm daerah inframerah-dekat yang dipengaruhi
oleh struktur daun internal; dan
3.
Panjang gelombang
spektrum antara 1,35-2,5 um, suatu daerah berpengaruh terhadap beberapa jumlah
oleh struktur daun, Namun secara signifikan dipengaruhi oleh konsentrasi air
dalam jaringan. Band penyerapan air yang kuat terjadi antara l .45 dan .95 l m
(Myers, 1983).
Perubahan isi klorofil
dauna, dapat ditentukan dengan menggunakan pengukuran reflektansi. Hoffer and
Johannsen (1969) mengemukakan beberapa perbedaan ditandai dalam spektrum
tanggapan karena pigmen daun yang berbeda. Seperti yang di tampilkan pada
Gambar 25, garis hitam tebal adalah daun hijau dengan pigmen klorofil dominan
yang berpuncak pada 0.55 μm. Thomas and Oerther (1972) mengilustrasikan bahwa
isi klorofil tergantung pada tingkatan nitrogen dalam vegetasi, faktanya,
tingkatan nitrogen memiliki hubungan dengan puncak 0.55 μm. Penggunaan
Penginderaan Jauh dalam pemetaan lahan bervariasi untuk presisi pertanian
menarik sejumlah besar perhatian. Seperti dilaporkan sebelumnya, Penginderaan
Jauh memberikan banyak keuntungan dibandingkan teknik pemetaan konvensional,
termasuk kemungkinan atau mengungkapkan hubungan yang kompleks dari pandangan
udara (Grenzdorffer, 1997). Selanjutnya menggunakan sistem Penginderaan Jauh,
data reflektansi pelindung yang dikumpulkan dapat digunakan untuk menghitung
indeks vegetasi pada gilirannya digunakan untuk memperkirakan tutupan vegetasi (Tanriverdi, KSU, Fakultesi, Bolumu, &
Kahramanmaras, 2006) .
Indeks Vegetasi (Perkiraan
Vegetasi), Moran et al., (1994) mengatakan bahwa indeks vegetasi (perkiraan
tutupan vegetasi) dengan menggunakan data reflektansi dapat digunakan sebagai
pengganti pengukuran tutupan vegetasi. Jelas, indeks vegetasi memiliki beberapa
keuntungan dibandingkan dengan tutupan vegetasi yang diukur terutama di bidang
pertanian yang besar. Pada dasarnya, beberapa keuntungannya yaitu, ketersediaan
data yang berlimpah, menghemat uang dan tenaga kerja minimum. Respon
pertumbuhan vegetasi dalam kaitannya dengan variabel iklim diukur atau
diprediksi dapat dipantau oleh indeks vegetasi multispektral yang dihasilkan
dari tutupan reflektansi pada gelombang relatif luas (Hatfield dan Pinter,
1993).
Indeks vegetasi seperti
indeks vegetasi tegak lurus (Richardson dan Wiegand, 1977) dan perbedaan
normalisasi (Rouse et al, 1973;. Deering et al, 1975;. Deering, 1978, dan
Holben et al., 1980) telah dikembangkan untuk memantau pertumbuhan vegetatif
pada tahap apapun. Indeks vegetasi sebagian besar rasio atau kombinasi linear
sinyal dari band radiometer. Indeks-indeks ini menyediakan korelasi hubungan
yang lebih tinggi dari band individu dengan parameter vegetasi yang hijau
indeks luas daun, biomassa basah dan kering, persen tutupan oleh vegetasi,
tinggi tanaman, fraksi daun klorosis, dan kadar air daun. metode tutupan
vegetasi yang diukur ditemukan sebagai data terbaik untuk tutupan vegetasi
lebih dari indeks vegetasi yang diperkirakan. Namun, metode pengukuran adalah
metode sulit bagi irigasi untuk menggunakan instrumen itu selama musim tanam.
Metode tutupan vegetasi ini diukur juga memiliki beberapa keterbatasan, seperti
waktu yang dibutuhkan untuk pergi dari satu lokasi ke lokasi lain dalam rangka
menyelesaikan kumpulan data dan kerusakan tanaman ketika peneliti sedang
berjalan di lapangan (Bausch dan Neale, 1987) dalam (Tanriverdi, KSU, Fakultesi, Bolumu, &
Kahramanmaras, 2006) .
2.10.2
Indeks Luas Daun Tanaman Padi
Berdasarkan Umur
Pengukuran ILD (Indeks Luas Daun) pernah dilakukan pada lahan padi
sawah di Sang Hyang Seri dan sekitarnya pada bulan Maret dan Agustus tahun
1999, serta bulan Agustus tahun 2000. Nilai akhir yang digunakan adalah nilai
Median dari beberapa seri pengukuran. Hasil rekapitulasi pengukuran disajikan
sebagai berikut :
Hubungan antara
rasio kanal 4/3 TM-Landsat (R4/3) dengan nilai ILD. Hasil plot data pengukuran
ILD dengan nilai R4/3 dapat dilihat pada gambar 27, berikut :
Contoh aplikasi
model atau algoritma yang diperoleh dari penelitian diatas dapat dilihat pada
Gambar 28, dengan cara diaplikasikan pada data TM-Landsat untuk menghasilkan sebaran
spasial ILD pada lahan padi sawah.
2.10.3
Model Estimasi Kerapatan Daun Dengan Indeks
Vegetasi
Dalam estimasi kerapatan
daun (Leaf Area Index) digunakan beberapa set indeks vegetasi seperti
Normalized Diference Vegetation Index (NDVI), Multiple Simple Ratio (MSR),
Renormalized Diference Vegetation Index (RDVI), Soil Adjusted Vegetation Index
(SAVI) dan Bentuk Modified Triangle Vegetation Index (MTVI 1 dan MTVI 2). Sama
halnya dengan pemodelan klorofil daun, nilai ground spectral dihitung dengan
indeks vegetasi tersebut dan kemudian dilakukan pemodelan dengan metode regresi
dengan data LAI in situ. Adapun hasil regresi antara indeks vegetasi dan LAI in
situ disajikan pada Gambar 29, berikut ini:
Menurut Haboundane (2004)
bahwa NDVI dan MSR lebih sensitif terhadapat klorofil, sehingga klorofil dapat
membaurkan nilai hubungan NDVI dan MSR terhadap green LAI . Karena pada
prinsipnya nilai NDVI berdasar pada kontras antara absorpsi maksimum klorofil
pada panjang gelombang merah dan reflektansi maksimum pada Infrared yang
disebabkan oleh strukur sel daun. Kemudian untuk MSR mempunyai nilai R2
terkecil dalam hubungannya dengan LAI atau kerapatan daun karena menurut Slater
and Jakcson (1982) dalam Wu (2008) nilai MSR lebih sensitif terhadap klorofil
dan jika dibandingkan dengan NDVI nilai MSR ini lebih terpengaruh oleh faktor
lingkungan seperti awan dan tanah.
3
metodologi
penelitian
3. 1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan mulai dari bulan Januari 2015 hingga April 2015 yang bertempat
di Desa Pa’bentengang, Kecamatan Bajeng, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi
Selatan.
3. 2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu Spectroradiometer,
kamera digital, timbangan digital, GPS, dan laptop. Sedangkan, bahan yang
digunakan adalah software Er-Mapper, software Spectrawiz, Citra Landsat 8 TM,
dan sampel tanaman (Padi).
3. 3
Prosedur Kerja
3.3.1
Pengambilan dan Pengolahan Data Lapangan
3.3.1.1
Pengukuran Parameter Biomassa Tanaman
1.
Menyiapkan lokasi
penelitian dengan hamparan tanaman padi
varietas Ciherang, varietas Ciliung, dan varietas
Inpari 7.
2.
Mengambil sampel
tanaman dengan 2-3 rumpun/2 minggu dengan menimbang tanaman sampel (akar,
batang, daun,dan buah) yang masing-masing telah dipisahkan dan dibersihkan
sehingga diperoleh total biomassa basah.
3.
Mengeringkan sampel
tanaman untuk memperoleh biomassa keringnya dan selanjutnya mengukur tinggi
tanaman dari permukaan tanah.
3.3.1.2 Pengukuran LAI (Leaf Area Index)
1. Melakukan
pengukuran luas daun, untuk menentukan luas daun individu dapat digunakan
metode panjang kali lebar.
2. Mengukur
Leaf Area Index (LAI) atau Indeks
Luas Daun yang diperoleh dari total luas daun dari suatu sampel tanaman yang
telah ditentukan.
LAI =
Keterangan :
=
Total luas daun
P = Total luas area dimana tanaman tersebut
tumbuh (dengan luas 100 cm x 100 cm)
3.3.2
Pengambilan
dan Pengolahan Data Citra Digital
3.3.2.1 Pengukuran Ground Cover
1. Menyiapkan
sampel tanaman padi di sawah dengan luas 100 cm x 100 cm.
2. Menyiapkan
kamera digital untuk pemotretan sampel sawah dengan ketinggian 1,5 meter dan
sumbu kamera tegak lurus terhadap permukaan bumi.
3. Menganalisis
foto dengan menggunakan software ER
Mapper untuk mengetahui persentase penutupan lahan tiap 2 minggu.
4. Mengukur
persentase penutupan lahan (GC) yang diperoleh dari total luas daun dari suatu
sampel tanaman yang telah ditentukan.
GC = x 100%
Keterangan
:
GC
= Penutupan lahan
3.3.3
Pengambilan
dan Pengolahan Data Citra Satelit
3.3.3.1 Pengambilan dan Pengolahan Data dengan
Menggunakan Er-Mapper
1. Pengambilan data dan titik sampel. Data
yang digunakan adalah peta Gowa
dalam bentuk Citra Landsat 8 TM dari bulan Januari
2014 sampai bulan April 2015 dan pengambilan titik
sampel dilakukan pada lahan padi
sawah terpilih.
2. Melakukan Penggabungan band. Penggabungan
band dilakukan untuk menyusun beberapa band pada citra menjadi satu.
3. Melakukan Cropping. Croping
bertujuan untuk memotong citra sesuai dengan batas administrasi daerah
penelitian. Croping citra ini menggunakan software Er-Mapper.
4. Menginput titik koordinat. Input
titik koordinat dilakukan dengan cara mentabulasi titik koordinat ke dalam
Er-Mapper, input titik koordinat bertujuan agar nantinya akan muncul titik- titik koordinat di
citra yang di ambil dari lapangan.
5. Menentukan Digital Number (DN) Pixel. Penentuan
DN Pixel dilakukan dengan cara mengklik masing masing titik koordinat yang
telah di input ke dalam citra melalui Er-Mapper, penentuan DN bertujuan untuk
mendapatkan nilai yang akan berkaitan dengan
produktivitas tanaman padi.
3.3.4
Pengambilan
Data Spektrometer
Pengambilan data Spectrometer dilakukan
bulan Januari 2015 – April 2015 menggunakan
alat Spectroradiometer .
Reflekan kanopi daun diukur pada titik pengukuran yaitu rumpun padi dengan
field spectroradiometer pada jam 10.00 - 14.00 dari atas permukaan kanopi daun dengan
ketinggian 1, 5 meter dengan sudut kemiringan 23,5. Setiap pengukuran dilakukan
pengulangan sebanyak minimal tiga kali.
3. 4 Analisis
3.4.1
Analisis
Citra Satelit
a.
Nilai NDVI (Normalized Difference Vegetation Index)
NDVI = (NIR – Red)/(NIR + Red)
Tingkat
kehijauan tanaman diperkirakan melalui analisis data digital citra satelit
menggunakan formula NDVI (Normalized
Difference Vegetation Index).
b.
Nilai SAVI (Soil Adjusted Vegetation Index)
SAVI = 1,5 (NIR – RED)/(NIR + RED + 0,5)
SAVI
merupakan suatu formula indeks vegetasi yang didesain untuk meminimalisir efek
dari tanah yang pada citra menjadi latar belakang objek vegetasi. Untuk tutupan
vegetasi yang tinggi, nilai L adalah 0,0 dan tutupan vegetasi yang rendah 1,0.
Sedangkan untuk tutupan vegetasi yang sedang, nilai L adalah 0,5. Dan nilai
inilah yang umum digunakan.
c.
Nilai GVI (Green Vegetation Index)
GVI = BG – G – R + NIR + MIR – SWIR
3.4.2
Analisis
Citra Digital
a.
Nilai LAI (Leaf Area Index) (Indeks Luas Daun)
LAI
adalah salahsatu parameter penting untuk mengidentifikasi produktivitas tanaman
pertanian. LAI dapat diturunkan dari data penginderaaan jauh dengan beragai
pendekatan, salahsatunya memalui index vegetasi.
b.
Persentase Ground Cover
Penutupan
lahan berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi dan
berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tersebut.
c.
Image Analysis (Crop/noncrop)
Image
Analysis bertujuan menghitung besaran kuantitatif dari citra untuk menghasilkan
deskripsinya. Diperlukan untuk melokalisasi objek yang diinginkan dari
sekelilingnya. Image Analysis berupa pendeteksian tepi objek, ekstraksi batas,
dan representasi daerah.
3.4.3
Analisis
Spektroradiometer
a.
Nilai Reflektansi
Nilai
reflektansi dapat diukur dengan menghitung rasio cahaya yang dipantulkan
terhadap jumlah cahaya yang datang atau yang jatuh pada permukaan objek.
b.
Nilai LAB (Analisis warna daun dan
tingkat kematangan buah)
3. 5
Data
3.5.1
Data yang Digunakan
Data yang
digunakan dalam Penelitian ini adalah Biomassa Tanaman Padi, Indeks Luas Daun,
Penutupan Lahan (Ground Cover), Data Citra Satelit Landsat 8 TM untuk Kabupaten
Gowa terpilih, Indeks Vegetasi dan Data Spektroradiometer.
3. 6 TIME LINE
Pada penelitian ini direncanakan dengan time
line sebagai berikut:
1.
Bulan
Desember 2014
-
Penulisan
Proposal Penelitian
-
Penaburan
Bibit (minggu ke 3)
-
Pengolahan
Lahan (minggu ke 4)
2.
Bulan
Januari 2015
-
Pengolahan
Lahan Lanjutan (minggu ke 1)
-
Seminar
Proposal (minggu ke 2)
-
Penanaman
Bibit Padi pada Lahan (minggu ke 2)
-
Pengambilan
Data Citra Satelit dan Citra Digital 1 (minggu ke 2)
-
Pengukuran
Biomassa Tanaman 1 (minggu ke 2)
-
Pengambilan
Data Spektroradiometer 1 (minggu ke 2)
-
Pengolahan
Data 1 (minggu ke 3)
-
Pengambilan
Data Citra Satelit dan Citra Digital 2 (minggu ke 4)
-
Pengukuran
Biomassa Tanaman 2 (minggu ke 4)
-
Pengambilan
Data Spektroradiometer 2 (minggu ke 4)
3. Bulan Februari 2015
-
Pengolahan
Data 2 (minggu ke 1)
-
Pengambilan
Data Citra Satelit dan Citra Digital 3 (minggu ke 2)
-
Pengukuran
Biomassa Tanaman 3 (minggu ke 2)
-
Pengambilan
Data Spektroradiometer 3 (minggu ke 2)
-
Pengolahan
Data 3 (minggu ke 3)
-
Pengambilan
Data Citra Satelit dan Citra Digital 4 (minggu ke 4)
-
Pengukuran
Biomassa Tanaman 4 (minggu ke 4)
-
Pengambilan
Data Spektroradiometer 4 (minggu ke 4)
4. Bulan Maret 2015
-
Pengolahan
Data 4 (minggu ke 1)
-
Pengambilan
Data Citra Satelit dan Citra Digital 5 (minggu ke 2)
-
Pengukuran
Biomassa Tanaman 5 (minggu ke 2)
-
Pengambilan
Data Spektroradiometer 5 (minggu ke 2)
-
Pengolahan
Data 5 (minggu ke 3)
-
Pengambilan
Data Citra Satelit dan Citra Digital 6 (minggu ke 4)
-
Pengukuran
Biomassa Tanaman 6 (minggu ke 4)
-
Pengambilan
Data Spektroradiometer 6 (minggu ke 4)
5. Bulan April 2015
-
Pengolahan
Data 6 (minggu ke 1)
-
Pengambilan
Data Citra Satelit dan Citra Digital 7 (minggu ke 2)
-
Pengukuran
Biomassa Tanaman 7 (minggu ke 2)
-
Pengambilan
Data Spektroradiometer 7 (minggu ke 2)
-
Pengolahan
Data 7 (minggu ke 3)
-
Panen
(minggu 3 dan 4)
6. Bulan Mei 2015
-
Penulisan
Hasil Penelitian (minggu 1 dan 2)
-
Seminar Hasil
Penelitian (minggu 2)
-
Ujian
Akhir (minggu 3)
7. Bulan Juni 2015
-
Wisuda
3. 7 Bagan Alir Penelitian
Aulia Hafizh, A. B. (2013).
Penggunaan Algoritma NDVI dan EVI Pada Citra Multispectral Untuk Analisa
Pertumbuhan Padi. Teknik POMITS , X.
Darmawan, A. (2012). Pembangunan Model
Hyperspectral Untuk Estimasi Produktivitas Vegetasi Padi Berdasarkan Derivatif
Linier. - .
Dirgayahu, D. d. (-). Pengembangan Model
Estimasi Umur Padi Sawah Menggunakan Indeks Umur Landsat-7 ETM.
Jensen, J. (2004). Introductory Digital
Image Procesing - A Remote Sensing Perspectives (Vol. 3th). N.J Prentice
Hall: Englewood Cliffs.
Lilesand. T.M, W. K. (2004). Remote
Sensing and Image Interpretation (Vol. 5th). New York: John Wiley &
Sons. Inc.
Noer, M. (2008). Estimasi Produksi
Tanaman Padi Sawah di Kabupaten Bekasi, Karawang, dan Subang. FMIPA
Universitas Indonesia.
Purwadhi, S. F. (2001). Interpretasi
Citra Digital. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Wahyunto, H. (-). Menduga Produksi Padi
dengan Teknologi Citra Satelit.
Wahyunto, S. R. (2003). Teknologi
Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Sumberdaya Lahan Di Daerah Lampung. Bagian
Proyek Penelitian Sumberdaya Tanah .
Wahyunto, W. d. (2000). Identifikasi dan
Inventarisasi Lahan Pertanian dan Estimasi Produksi Padi Melalui Analisis
Digital Citra Satelit. Bagian Proyek Penelitian Sumberdaya Lahan dan
Agroklimat .
Wahyunto, W. d. (2006). Pendugaan
Produktivitas Tanaman Padi Sawah Melalui Analisis Citra Satelit.
gambarnya ga nampil
ReplyDelete