Popular Posts

Friday, June 24, 2016

Laporan Fungsional Daging - pemberian asap cair



Daging merupakan salah satu jenis hasil ternak yang hampir tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Sebagai bahan pangan, daging merupakan sumber protein hewani dengan kandungan gizi yang cukup lengkap. Sama halnya dengan bahan pangan hewani lainnya seperti, susu, telur dan lain-lain, daging bersifat mudah rusak akibat proses mikrobiologis, kimia dan fisik bila tidak ditangani dengan baik.

Proses biokimia yang berlangsung sebelum dan setelah ternak mati sampai terbentuknya rigor mortis pada umumnya merupakan suatu kegiatan yang besar perannya terhadap kualitas daging yang akan dihasilkan pascarigor. Kesalahan penanganan pascamerta sampai terbentuknya rigor mortis dapat mengakibatkan mutu daging menjadi rendah ditandai dengan daging yang berwarna gelap (dark firm dry) atau pucat (pale soft exudative) ataupun pengkerutan karena dingin (cold shortening) atau rigor yang terbentuk setelah pelelehan daging beku (thaw rigor) (Abustam, 2009).
Perubahan otot menjadi daging meliputi perubahan sifat fisikokimia otot akibat perubahan-perubahan secara biokimia dan biofisik pada saat prarigor, rigormortis dan pascarigor.  Namun salah satu kendala pada sifat fungsional daging yaitu, adanya keterbatasan daging untuk  mengikat air  atau daging sapi fase prarigor hanya dapat bertahan sekitar 6-8 jam.  Dengan keterbatasan waktu yang mengharuskan daging tersebut haruslah segera diolah pada saat daging tesebut masih dalam fase prarigor mortis.  Salah satu cara untuk mempertahankan sifat fungsional yang dimiliki daging adalah dengan adanya penambahan bahan tambahan yang bisa mempertahankan sifat fungsional daging dan juga bisa menghasilkan kualitas yang baik pada daging tersebut.
Asap cair merupakan suatu campuran suatu dispersi asap kayu dalam air yang dibuat dengan mengkondensasikan asap hasil pembakaran kayu yang mengandung senyawa fenol yang berperan sebagai antioksidan dan dapat meningkatakan daya tahan dan kualitas daging.  Pada umumnya, penggunaan asap cair sering dikombinasikan dengan berbagai perlakukan seperti penggaraman, teknik pengemasan dan suhu penyimpanan, sebagai upaya efek sinergis terhadap mikroorganisme perusak dan meningkatkan umur simpan.  Asap cair dapat digunakan untuk memberikan karakteristik sensori terhadap produk olahan daging, dalam bentuk perubahan warna, bau, dan rasa.     
Daging fase prarigor pada otot Longissimus dorsi merupakan daging yang sangat baik digunakan untuk produk olahan.  Namun kenyataannya sifat fungsional daging fase prarigor tersebut hanya bertahan kisaran 6-8 jam.  Melihat sifat fungsional daging prarigor, maka dari itu dengan penambahan asap cair, sifat fungsional  daging sapi Bali pada fase pascarigor bisa dipertahankan.
            Pemberian asap cair sebagai bahan pengikat (binder) pada pangan hewani sesuai dengan perlakuan dan konsentrasi yang digunakan, diduga dapat mempertahankan sifat fungsional daging fase prarigor pada otot Longissimus dorsi.
            Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian level asap cair sebagai bahan pengikat dan bagaimana kualitas yang dihasilkan.   Kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai media informasi kepada masyarakat mengenai pemanfaatan asap cair  sebagai bahan pengikat.


TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Umum Daging
Menurut Astawan, (2007) daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi. Selain mutu proteinnya tinggi, pada daging terdapat pula kandungan asam amino esensial yang lengkap dan seimbang. Keunggulan lain, protein daging lebih mudah dicerna dibanding protein yang berasal dari nabati. Bahan pangan ini juga mengandung beberapa jenis mineral dan vitamin. Selain kaya protein, daging juga mengandung energi sebesar 250 kkal/100 g. Jumlah energi dalam daging ditentukan oleh kandungan lemak intraselular di dalam serabut-serabut otot, yang disebut lemak marbling. Kadar lemak pada daging berkisar antara 5-40 persen, tergantung pada jenis dan spesies, makanan dan umur ternak. Daging juga mengandung kolesterol, walaupun dalam jumlah yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan bagian jeroan maupun otak. Kadar kolesterol daging sekitar (500 mg/100g) lebih rendah daripada kolesterol otak (1.800-2.000 mg/100 g) atau kolesterol kuning telur (1.500 mg/100 g).
Menurut Soeparno, (2005) kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh dua faktor yaitu sebelum dan sesudah pemotongan.  Faktor sebelum pemotongan yang biasa disebut dengan antemortem yang dapat mempengaruhi kualitas daging adalah genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan, dan stress dan setelah pemotongam pemotongan (post mortem) yang mempengaruhi kualitas daging antara lain meliputi metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, karkas dan daging, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk daging, hormone dan antibiotik, lemak intramuskuler atau marbling, metode penyimpanan, macam otot daging, dan lokasi pada suatu otot daging.  Hal ini sesuai dengan pendapat Abustam (2004) bahwa Kualitas karkas dan daging sapi dipengaruhi oleh dua faktor sebelum dan sesudah pemotongan ternak sapi.  Beberpa faktor sebelum pemotongan meliputi genetic, spesies, bangsa, tipe ternak.  Sedangkan beberapa faktor setelah pemotongan antara lain metode pelayua, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas dan daging, dan bahan tambahan termasuk enzim pengempuk daging, hormon antibiotik, macam otot serta perlakuan penyimpanan, dan preservasi.
Menurut Tabrany (2001) proses kontraksi menyebabkan otot menjadi keras dan kaku sedangkan proses relaksasi menyebabkan jaringan otot menjadi lunak dan empuk. Fase-fase yang dialami jaringan otot hewan setelah dipotong adalah fase pre rigor mortis, rigor mortis, dan pasca rigor mortis. Pada fase pre rigor mortis daging masih lunak karena daya ikat air dari jaringan otot masih tinggi, lama fase pre rigor mortis berkisar antara 5-8 jam, tergantung dari jenis hewan. Pada fase rigor mortis jaringan otot menjadi keras dan kaku. Fase ini sangat tergantung pada kondisi penyimpanan. Penyimpanan pada suhu rendah dapat menyebabkan fase rigor mortis berlangsung cukup lama. Sedangkan fase pasca rigor mortis adalah fase pembentukan aroma, pada fase ini daging kembali menjadi lunak dan empuk karena daya ikat air dalam otot kembali meningkat. Lama pelayuan daging berhubungan dengan selesainya proses rigor mortis (proses kekakuan daging), dalam hal ini apabila proses rigor mortis belum selesai dan daging terlanjur dibekukan maka akan menurunkan kualitas daging atau daging mengalami proses cold-shortening (pengkerutan dingin) ataupun thaw rigor (kekakuan akibat pencairan daging) pada saat thawing sehingga akan menghasilkan daging yang tidak empuk (alot).
Untuk mempertahankan kehidupan dan aktivitas ternak, makanan merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi. Kelebihan karbohidrat yang berasal dari pakan yang dikonsumsi akan dirubah dalam tubuh ternak menjadi glikogen (pati hewan) yang akan disimpan didalam hati dan otot. Glikogen ini akan dirombak menjadi asam laktat (anaerob) atau asam piruvat (aerob) dan akan menghasilkan ATP (adenosine tri fosfat). Pada otot ATP akan digunakan untuk proses kontraksi dan relaksasi sehingga memungkinkan ternak untuk bergerak atau beraktivitas. Pada saat ternak telah mengalami kematian maka otot yang semasa hidup ternak disebut sebagai energi mekanik dan energi kimiawi akan disebut sebagi energi kimiawi saja karena setelah rigor mortis terbentuk maka akativitas kontraksi tidak tejadi lagi.  Sesaat setelah ternak mati maka sisa-sisa glikogen dan khususnya ATP yang terbentuk menjelang ternak mati akan tetap digunakan untuk kontraksi otot sampai ATP habis sama sekali dan pada saat itu akan terbentuk rigor mortis ditandai dengan kekakuan otot (tidak ekstensibel lagi).
Produksi ATP dari glikogen melalui tiga jalur yakni: (Abustam, 2009)
1.   Glikolisis; perombakan glikogen menjadi asam laktat (produk akhir) atau melalui pembentukan terlebih dahulu asam piruvat (dalam keadaan aerob) kemudian menjadi asam laktat (anaerob). Pada kondisi ini akan terbentuk 3 mol ATP
2.   Siklus asam trikarboksilat (siklus krebs); sebagian asam piruvat hasil perombakan glikogen bersama produk degradasi protein dan lemak akan masuk kedalam siklus asam trikarboksilat yang menghasilkan CO2 dan atom H. Atom H kemudian masuk ke rantai transport elektron dalam mitochondria untuk menghasilkan H2O serta 30 mol ATP.
3.   Hasil glikolisis berupa atom H secara aerob via rantai transport elektron dalam mitochondria bersama dengan O2 dari suplai darah akan menghasilkan H2O dan 4 mol ATP.
Dengan demikian melalui tiga jalur ini glikogen otot pertama-tama dirubah menjadi glukosa mono fosfat kemudian dirombak menjadi CO2 dan H2O serta 37 mol ATP.  Adenosin tri fosfat (ATP) akan digunakan sebagai sumber energi untuk kontraksi, memompa ion Ca2 pada saat relaksasi, dan mengatur laju keseimbangan Na dan K.  Cepat lambatnya waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis sangat tergantung pada sedikit banyaknya ATP yang tersedia pada saat ternak disembelih. Kondisi ternak yang kurang istirahat menjelang disembelih dan terutama pada kondisi stress atau kecapaian/kelelahan akan mempercepat terbentuknya rigor mortis.
Rigor mortis adalah suatu proses yang terjadi setelah ternak disembelih diawali fase prarigor dimana otot-otot masih berkontraksi dan diakhiri dengan terjadinya kekakuan pada otot. Padas saat kekakuan otot itulah disebut sebagai terbentuknya rigor mortis sering diterjemahkan dengan istilah kejang mayat.  Waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis tergantung pada jumlah ATP yang tersedia pada saat ternak mati. Jumlah ATP yang tersedia terkait dengan jumlah glikogen yang tersedia pada saat menjelang ternak mati. Pada ternak yang mengalami kecapaian/kelelahan atau stress dan kurang istirahat menjelang disembelih akan mengjhasilkan persediaan ATP yang kurang sehingga proses rigor mortis akan berlangsung cepat. Demikian pula suhu yang tinggi pada saat ternak disembelih akan mempercepat habisnya ATP akibat perombakan oleh enzim ATPase sehingga rogor mortis akan berlangsung cepat.  Waktu yang singkat untuk terbentuknya rigor mortis mengakibatkan pH daging masih tinggi (diatas pH akhir daging yang normal) pada saat terbentuknya rigor mortis. Jika pH >5.5 – 5.8 pada saat rigor mortis terbentuk dengan waktu yang cepat dari keadaan normal maka kualitas daging yang akan dihasilkan menjadi rendah (warna merah gelap, kering dan strukturnya merapat) dan tidak bertahan lama dalam penyimpanan sekalipun pada suhu dingin (Abustam, 2009).
Komposisi Kimia Daging Sapi
            Di dalam daging sapi juga terdapat mineral-mineral seperti kalsium, magnesium, natrium, fosfhor, khorl, besi, belerang, tembaga, dan mangan.  Viatamin yang terdapat terutama golongan vitamin B (B1, B12, B6, dan B2), viatamin C, A, E, D, dan K.  selain itu daging pigmen pemberi warna merah (mioglobin).  Perubahan warna daging dari karkas menjadi merah cerah karena pembentukan oksimioglobing dan ketika berubah menjadi coklat karena mioglobin menjadi metmioglobin (Sudarwati, 2007).
Warna daging sapi adalah warna merah cerah, karena dianggap daging tersebut adalah daging yang berkualitas jika dibandingkan dengan daging yang berwarna meraH tua.  Daging sapi yang baik harus berwarna merah segar, mengkilat, tidak pucat, seratnya halus, tidak berbau asam, tidak busuk, apabila dipanggang terasalekat pada tangan dan masih terasa kebasahannya serta lemaknya berwarna kuning.  Banyak faktor yang mempengaruhi warna daging, termasuk pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stress (tingkat aktifitas), tipe otot, pH, dan oksigen.  Faktor-faktor ini dapat mempengaruhi penentu utama warna daging yaitu konsentrasi pigmen daging mioglobin (Lawrie, 2003).
Flavor atau aroma daging adalah sensasi komplek dan sangat terkait.  Bau dan rasa paling sukar untuk didefinisikan secara objektif.  Daging dari ternak yang lebih tua lebih menyengat dari ternak yang lebih muda.  Bau dan aroma pada daging sangat dipengaruhi oleh prekusor yang larut dalam air dan lemak, serta pembebasan substansi atsiri (volatil) yang terdapat didalam daging (Soeparno,2005) dalam (Lena, 2007).
Menurut  Sikapang (2009), menyatakan bahwa otot Longissimus dorsi memiliki warna agak pucat, pH dan susut masak yang rendah, serta memiliki keempukan, kelentingan, kekenyalan dan kesukaan yang tinggi dibanding dengan otot Semitendinosus dan otot Pectoralis profundus.
            Longissimus dorsi memilliki nilai susut masak dan  DPD rendah, memiliki keempukan, kebasahan dan flavour yang tinggi serta residu pengunyahan rendah dibanding dengan otot Semitendinosus dan Pectoralis profundus.(Wulandari, 2011)
pH Daging (Derajat Keasaman)
Menurut Soeparno (2009) pH daging tidak diukur segera setelah pemotongan (biasanya dalam waktu 45 menit)  untuk mengetahui penurunan pH awal.  Pengukuran pH pada daging karkas dengan menggunakan elektroda pH gelas.  pH daging yang berhubungan dengan daya ikat air, kesan jus daging, keempukan dan susut masak, juga berhubung dengan warna dan sifat mekanik daging ( daya putus Warner Bratzler), kompresi, adhesi dan kekuatan tarik).  Suatu kenaikan pH daging akan meningkatkan jus daging dan menurunkan susut masak otot.  Hampir semua bakteri tumbuh secara optimal pada pH sekitar 7 dan tidak akan tumbuh persis dibawah pH 4 atau diatas 9, tetapi pH untuk pertumbuhan optimal ditentukan oleh kerja simultan dari berbagai variabel lain diluar faktor keasaman itu sendiri (Lawrie, 2003)
Menurut Soeparno (2005)  bahwa pH ultimat daging adalah 5,5-5,8 dan factor yang mempengaruhi laju dan besarnya penurunan pH postemortem di bagi menjadi dua yaitu factor intrinsic yang terdiri atas spesies, jenis otot, glikogen otot, dan variabilitas diantara ternak.  Sedangkan faktor ekstrinsik antara lain temperatur lingkungan, perlakuan bahan aditif sebelum pemotongan dan stress sebelum pemotongan.  Umum nilai pH tetap pada umur berbeda baik jantan maupun betina, dimana pH ultimat otot Longissimus dorsi ternak sapi bali 5,50, ternak kuda, 5,54, babi, 5,57, dan domba 5,60.
Menurut Lawrie (2003) bahwa pH akhir daging yang dicapai merupakan petunjuk untuk mengetahui mutu daging yang baik.  Daging yang mempunyai pH antara 5,5-5,7 (pH Normal) memberikan warna merah cerah.
Standar pH daging sehat dan cukup istirahat yang baru disembelih adalah 7,72 dan akan terus menurun selama 24 jam sampai beberapa hari.  Jika terjadi pembusukan maka pH-nya akan kembali ke 7.  Jarak penurunan pH tersebut tidak sama untuk semua urat dari seekor hewan dan antara hewan juga berbeda.  pH postemortem akan ditentukan oleh jumlah asam laktat yang dihasilkan dari glikogen selama proses glikolisis anaerob dan akan terbatas bila hewan depresi karena kelelahan, (Rahadja, 2009).
Laju pH penurunan pH oto cepat dan ekstensif akan mengakibatkan warna daging menjadi pucat, daya ikat air protein terhadap cairan menjadi rendah dan permukaan otot daging menjadi basah karena keluarnya cairan kepermukaan potogan daging (Weep).  Sebaliknya pH ultimat yang tinggi, daging berwarna gelap dan permuaan potongan daging  menjadi sangat kering karena cairan daging terikat secara erat oleh proteinnya.
Daya Ikat Air /Water Holding Capacity(WHC)
  Daya ikat air oleh protein daging atau water-holding capacity adalah kemampuan daging untuk mengikat air.  Air yang terikat didalam otot dapat dibagi menjadi 3 kompartemen air, yaitu air yang terikat secara kimiawi oleh protein otot sebesar 4-5% sebagai lapisan monomolekular pertama; air terikat agak lemah sebagai lapisan kedua dari molekul air terhadap grup hidrofilik, sebesar kira-kira 4%, dan lapisan kedua ini akan terikat oleh protein bila tekanan uap air meningkat.  Lapisan ketiga adalah molekul-molekul air bebas diantara molekul protein, berjumlah kira-kira 10%.  Jumlah air yang terikat (lapisan pertama dan kedua) adalah bebas dari perubahan molekul yang disebabkan oleh denaturasi protein daging, sedangkan jumlah air terikat yang lebih lemah yaitu lapisan diantara molekul protein akan menurun bila protein daging mengalami denaturasi. (Soeparno, 2009)
Beberapa faktor dapat mempengaruhi daya ikat air protein daging termasuk pH, stress, bangsa, pembentukan akto-myosin (rigormortis), temperatur dan kelembaban, pelayuan karkas dan aging, tipe otot dan lokasi otot, spesies, umur, fungsi otot, pakan, dan lemak intramuskuler (Soeparno, 2005). 
Daya ikat air dan tingkat kualitas erat hubungannya dengan pH akhir otot.  Jika konsentrasi glikogen otot pada pemotongan cukup, maka pH akan mengalami penurunan dari 7,2 menjadi 5,5 setelah rigormortis dan daging akan lebih empuk.  Laju penurunan pH karkas (postemortem) juga merupakan penentu utama dari daya ikat air.  Besar penurunan pH karkas (postemortem) , akan mempengaruhi daya ikat air dan makin tinggi pH akhir makin kurang daya ikat air daging. (lawrie, 2003)
Daya  Putus Daging
Nilai daya putus daging Warner Blatzler (WB) ikut menunjukkan keempukan daging.  Pada pengujian adhesi arah serabut sampel yang digunakan adalah tegak lurus pada arah serabut otot untuk pengujian daya putus daging Warner Blatzler (WB).  Sampel daging untuk pengujian kekuatan tarik (tensile strength) mula-mula dibuat seperti penyiapan sampel untuk pengujian daya putus Warner Blatzler (WB).   Kemudian dibuat tanda bagian tengah sampel daging dengan lebar 0,67 cm, dan sampel dipotong sehingga berbentuk seperti pasak.  Kekuatan tarik juga merupakan identitas keempukan atau kealotan daging.  (Soeparno, 2009)
Keempukan daging dapat diukur dengan melihat daya putus daging dengan menggunakan alat CD Shear Force. Uji daya putus daging merupakan pengujian yang dilakukan untuk mengetahui tingkat kealotan dari daging, semakin tinggi nilai DPD suatu sampel daging maka semakin tinggi pula tingkat kealotannya.  Faktor utama yang mempengaruhi tingkat kealotan daging adalah jumlah kolagen dan tingkat kelarutan kolagen (Lawrie, 2003) dalam (Ma’arif, 2009)
Abustam (1987) memperlihatkan bahwa kandungan kolagen daging sapi bervariasi, tergantung pada jenis otot dan umur ternak, variasi ini sangat besar pada otot empuk dan ternak umur muda yang mana 48 - 66 % dapat menjelaskan variasi keempukan daging. Semakin tinggi kadar kolagen maka semakin rendah suhu awal kontraksi dan semakin penting tegangan maksimal (maximal tension) selama pemanasan daging.
Tinjauan Umum Asap Cair
                Asap cair diperoleh melalui pemanasan pada batok atau tempurung kelapa dengan suhu 400-600 derajat celcius dalam sebuah tabung.  Asap yang keluar dari hasil pemanasan itu dialirkan melalui pipa-pipa.  “Pipa untuk menyalurkan asap dibuat berebentuk spiral atau seperti yang dimasukkan dalam sebuah tong yang berisi air.  Asap yang didinginkan itu akan keluar dalam bentuk cairan. Cairan itulah yang disebut liquid smoke,”.  Liquid
 smoke mengandung lebih dari 400 senyawa kimia, antara lain air, fenol, karbonil, asam, dan tar.  Untuk menghilangkan senyawa tar, disebut saringan guna memisahkannnya dengan senyawa-senyawa yang lain.  Dijelaskan, adanya fenol dengan titik didih tinggi dalam asap merupakan zat antibakteri yang mampu mencegah pembusukan.  Liquit sudah melalui uji toksisitas awal, hasilnya aman untuk manusia.
Asap cair adalah hasil dari kondensasi asap hasil pembakaran kayu. Komponen yang terkandung dalam proses pembakaran itu antara lain terdiri dari selulosa hemiselosa dan lignin yang mengalami pirolisa sehingga menghasilkan asap dengan komposisi yang sangat kompleks. Wama dari asap cair itu adalah kuning cemerlang dan wama itu akan berubah menjadi gelap apabila asap cair itu disimpan. Senyawaan hasil pirolisa itu adalah kelompok fenol, karbonit dan kelompok asam yang secara simultan mempunyai sifat antioksidasi dan antimikroba. Kelompok-kelompok itu mampu mencegah pembentukan spora dan pertumbuhan bakteri dan jamur serta menghambat kehidupan bakteri dan jamur serta menghambat kehidupan virus. Sifat-sifat itu dapat dimanfaatkan untuk pengawetan makanan (Anonima, 2010).        
Asap cair merupakan suatu campuran larutan dan disperse koloid dari uap asap kayu dalam air yang diperoleh dari hasil pirolisa kayu.  Asap cair diprouksi dengan cara pembakaran yang tidak sempurna yang melibatkan reaksi dekomposisi konstituen  polimer menjadi senyawa organik dengan berat molekul rendah karena pengaruh panas yang meliputi reaksi oksidasi, polimerisasi, dan kondensasi.  Asap cair diperoleh secara destilasi kering bahan baku asap misalnya tempurung kelapa, sabut kelapa, atau  kayu pada suhu 400 0C selama 90 menit lalu diikuti dengan peristiwa kondensasi dalam kondensor berpendinginan air  destilat yang diperoleh dimasukkan dalam corong pemisah untuk dipisahkan dari senyawa-senyawa kimia yang tidak diinginkan misalnya senyawa tar yang tidak larut dengan asam (Sikapang, 2009).
            Zuraida (2008)  mengemukakan bahwa asap cair mengandung beberapa zat anti mikroba, antara lain asam dan turunannya (format, asetat, butirat, propionate, dan metal ester), alkohol (metal, etil, propel, alkil, dan isobutyl alkohol), aldehid (formaldehid, asetaldehid, furfural, dan metal furfural,) hidrokarbon (silene, kumene, dan simene), keton ( aseton, metal etil keton, metal propel keton, dan etil propel keton), fenol, piridin dan metal piridin.
Kandungan dalam asap cair tersebut ada beberapa macam.  Berikut komponen-komponen penyusun asap cair yang meliputi:  Anonim 2010b.
1.  Senyawa-senyawa fenol
Senyawa fenol diduga berperan sebagai antioksidan sehingga dapat memperpanjang masa simpan produk asapan.  Kandungan senyawa fenol dalam asap sangat tergantung pada temperatur pirolisis kayu.
2.   Senyawa-senyawa karbonil
Senyawa-senyawa karbonil dalam asap memiliki peranan pada pewarnaan dan citarasa produk asapan.
3. Senyawa-senyawa asam
Senyawa-senyawa asam mempunyai peranan sebagai antibakteri dan membentuk citarasa produk asapan. Senyawa asam ini antara lain adalah asam asetat, propionat, butirat dan valerat.
4. Senyawa hidrokarbon polisiklis aromatis
Senyawa hidrokarbon polisiklis aromatis (HPA) dapat terbentuk pada proses pirolisis kayu.  Senyawa hidrokarbon aromatik seperti benzo(a) pirena merupakan senyawa yang memiliki pengaruh buruk karena bersifat karsinogen.  Girard (1992) menyatakan bahwa pembentukan berbagai senyawa HPA selama pembuatan asap tergantung dari beberapa hal, seperti temperatur pirolisis, waktu dan kelembaban udara pada proses pembuatan asap serta kandungan udara dalam kayu.  Semua proses yang menyebabkan terpisahnya partikel-partikel besar dari asap akan menurunkan kadar benzo(a) pirena. Proses tersebut antara lain adalah pengendapan dan penyaringan
Keuntungan penggunaan asap cair antara lain lebih intensif dalam pemberian citarasa, kontrol hilangnya citarasa lebih mudah, dapat diaplikasikan pada berbagai jenis bahan pangan, lebih hemat dalam pemakaian kayu sebagai bahan asap, polusi lingkungan dapat diperkecil dan dapat diaplikasikan ke dalam bahan dengan berbagai cara seperti penyemprotan, pencelupan, atau dicampur langsung ke dalam makanan. (Anonimc, 2010)
Cara pemanfaatan liquit smoke yakni dengan mencampurkan pada air bersih.  Dengan perbandingan 20-30 persen liquit smoke, dan 70 persen air.  (Kompas, 2006 dalam abustam, 2010).
Penambahan antioksidan Catechin tea, eugenol kayu manis dan asap cair pada daging dada broiler yang disimpan selama 1 bulan memperlihatkan susut masak yang lebih rendah pada perlakuan asap cair secara berurutan masing-masing 17,47%, 22,26%, dan 11,50%.  Rendahnya susut masak daging dada broiler pada perlakuan asap cair (15,50%) menandakan bahwa terjadi peningkatan daya ikat air yang berimplikasi terhadap tekstur yang lebih baik. (Kompudu, 2008 dalam Abustam dan Ali, 2010)
Tingkat penambahan asap cair 2% menghasilkan perbaikan keempukan sebesar 18,40% dari tanpa penambahan asap cair.  Penambahan 1% dan 1,5% mengakibatkan perbaikan keempukan secara berurutan masing-masing 4,7% dan 6,29% (Abutstam dan Ali, 2010)
Pemanfaatan asap cair sebagai  bahan pengikat dalam bakso daging sapi memperlihatkan bakso yang ditambah asap cair pada level 0,5% secara uji sensorik  kekenyalannya meningkat dari 2,6 menjadi 3,8.  Demikian pula pada daya lenting semakin tinggi dengan meningkatnya level asap cair.  Dimana pada level 1% kelentingan mencapai skor 4. (Abustam dkk, 2009 dalam Abustam dan Ali, 2010)
Abustam dan Ali (2010) menyatakan bahwa semakin lama waktu penyimpanan semakin rendah pH, semakin menurun daya ikat air (DIA), dan semakin rendah daya putus daging (DPD), demikian pula semakin tinggi tingkat penambahan asap cair semakin rendah pH, semakin meningkat daya ikat air (DIA), dan semakin menurun daya putus daging (DPD).  Otot  Longissimus dorsi (LD) memberikan pH yang lebih rendah, daya ikat air yang lebih tinggi dan daya putus daging yang lebih rendah dibanding dengan otot Semitendinosus (ST) dan otot Pectoralis profundus
            Penambahan asap cair akan memperbaiki kualitas daging dimana pada level 2% menurunkan susut masak, menurunkan DPD, meningkatkan skor keempukan, meningkatkan skor kebasahan, meningkatkan skor residu pengunyahan meningkatkan skor flavor (Wulandari, 2011)
 

Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah pH, daya ikat air, daya putus daging dan uji organoleptik bau dan warna.  Prosedur pengambilan data masing-masing peubah tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Nilai pH Daging
Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter dengan cara memasukkan elektroda khusus daging (ujung lancip) ke dalam daging dan melakukan pembacaan skala pH setelah angka ditunjukkan pada layar menjadi stabil. 
2. Daya Ikat Air
Daya ikat air dilakukan dengan metode penekanan (press method) sesuai dengan petunjuk Hamm (Soeparno, 2005), yaitu sampel sebanyak 0,3 g.  Sampel dibungkus dengan kertas saring Wacthman 42.  Sampel yang terbungkus dipres diantara dua plat dengan beban seberat 35 kg selama 5 menit menggunakan alat modifikasi Filter Paper Press.  Kertas saring diletakkan di bawah kertas kalkir dan area yang terbentuk digambar.  Daya ikat air dihitung dengan rumus berikut :
DIA  =    x 100%

                                               
Keterangan : 
D         =  Luas Area Daging
T          =  Luas Area Total
3.  Daya Putus Daging (DPD)
                 Pengukuran daya putus daging menggunakan alat CD-Shear Force untuk melihat daya putus daging yang dinyatakan dalam kg/cm2 (Abustam, 1993). Semakin rendah nilai daya putus daging, menunjukkan daging tersebut semakin empuk, sebaliknya semakin tinggi nilai daya putus daging maka semakin alot. Prosedur pengukuran keempukan daging adalah :
a. Sampel dipotong dengan panjang 1 cm, jari-jari 0,635 cm
b. sampel dimasukkan pada lubang CD Shear Force
c. Sampel dipotong tegak lurus dengan serat daging
d. Perhitungan daya putus daging sesuai pembacaan pada CD Shear Force dengan      menggunakan  rumus :
                                                A1
                        A         =                              
                                              L
Keterangan :
A  = daya putus daging(kg/cm2)
A1 = tenaga yang digunakan (kg)
L   = luas penampang sampel (  = 3,14 x(0,635 cm)2 = 1,27)
4.  Uji Organoleptik
Pengamatan secara subjektif (organoleptik) dilakukan oleh 10 panelis dari mahasiswa Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin dengan cara sampel diuji secara acak dengan memberikan kode pada sampel yang akan diuji yang telah mengalami perlakuan  meliputi konsistensi daging.



Abustam, E.  1993.  Peranan maturasi (aging) terhadap mutu daging sapi Bali yang di pelihara secara tradisional dan dengan sistem Penggemukan.  laporan hasil penelitian proyek peningkatan peneltian pada masyarakat,  loan Bank Dunia No.  3311-IND. SPK No. 670/P4M/DPPM/L.  3311/BBI/1992.  Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin.

Abustam, E.  2004.  Bahan Ajar Ilmu dan Teknologi Pengolahan Daging.  Fakultas peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.

Abustam, E. 2009.  Konversi otot menjadi maging.  http://cinnatalemien-eabustam.blogspot.com/2009/03/struktur-otot.html.

Abustam, E dan Hikmah M. Ali.  2010.  Kemampuan Mengikat Air (Water Holding Capacity) dan Daya Putus Daging Sapi Bali Prarigor Melalui Tingkat Penambahan Asap Cair.  Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin.

Abustam E.  1987.  Contribution Al’ etude Des Caracterissafion Des Viances Bovines Par les Proprietes Des Tissus Conjontift These Des Docteur Enginius, Universite Blaise Pascala, France.
Anonima. 2010.  Kandungan asap cair, komponen senyawa penyusun asap cair.  http://id.wordpress.com.  Diakses  
Anonimb.  2010. Asap cair dan oven pengasap mekanis untuk meningkatkan Mutu ikan asap.  http://www.iptekda.lipi.go.id/root/buletin.asp. 

Anonimc, 2010.  Asap cair pengawet makanan.  http://id.wordpress.com/.  Diakses

Astawan. 2007. Mengapa kita perlu makan daging. kompas Cyber Media. Bandung. http://multiply.com/kulinerkita/daging.html. Diakses pada tanggal 

Girrard, J.P. 1992. Smoking in Technology of Meat Products. Clermont Ferrand. Ellis Horwood, New York pp: 165:205.

Gaspersz, V.  1991.  Metode Penelitian dan Perancangan Percobaan Untuk Ilmu-ilmu Pertanian Ilmu-ilmu Teknik dan Biologi.  Armico, Bandung.

Lawrie, R.  A.  2003.  Ilmu Daging.  (Terjemahan Parakasi, A).  Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Lena Soi, F. 2007.   Pertumbuhan staphylococcus aureus pada daging sapi dalam penyimpan suhu kamar.  Skripsi.  Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.
Ma’arif, A. 2009.  Pengaruh asap cair terhadap kualitas bakso daging sapi bali. Skripsi Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar

Rahardja, Djoni P.  2009.  Bahan Ajar Ilmu Lingkungan Ternak.  Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.

Sikapang, F.  2009.  Pengaruh jenis otot dengan penambahan level asap cair yang berbeda terhadap karakteristik bakso daging sapi Bali.  Skripsi.  Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.
Soeparno, 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Soeparno, 2009.  Ilmu dan Teknologi Daging.  Gadjah Mada University Press.  Yogyakarta.

Sudarwati.  2007.  Pembuatan bakso daging sapi dengan penambahan kitosan. Skripsi.  Departemen Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatra Utara.  Sumatra Utara.

Tabrany, H.  2001.  Pengaruh proses pelayuan terhadap kualitas daging. Disertasi Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.  Bogor.       
Wulandari, 2011.  Pengaruh jenis otot dan level asap cair terhadap kualitas daging pascarigor sapi Bali.  Skripsi.  Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.
Zuraida I.  2008.  Kajian penggunaan asap cair tempurung kelapa terhadap daya awet bakso ikan.  Tesis.  Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

0 comments:

Post a Comment