Laporan Fungsional Daging - pemberian asap cair
Daging merupakan
salah satu jenis hasil ternak yang hampir tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
manusia. Sebagai bahan pangan, daging merupakan sumber protein hewani dengan
kandungan gizi yang cukup lengkap. Sama halnya dengan bahan pangan hewani
lainnya seperti, susu, telur dan lain-lain, daging bersifat mudah rusak akibat
proses mikrobiologis, kimia dan fisik bila tidak ditangani dengan baik.
Proses biokimia yang berlangsung sebelum dan setelah
ternak mati sampai terbentuknya rigor mortis pada umumnya merupakan suatu
kegiatan yang besar perannya terhadap kualitas daging yang akan dihasilkan
pascarigor. Kesalahan penanganan pascamerta sampai terbentuknya rigor mortis dapat
mengakibatkan mutu daging menjadi rendah ditandai dengan daging yang berwarna
gelap (dark firm dry) atau pucat (pale soft exudative)
ataupun pengkerutan karena dingin (cold shortening) atau rigor yang
terbentuk setelah pelelehan daging beku (thaw rigor) (Abustam, 2009).
Perubahan otot menjadi daging meliputi perubahan
sifat fisikokimia otot akibat perubahan-perubahan secara biokimia dan biofisik
pada saat prarigor, rigormortis dan pascarigor. Namun
salah satu kendala pada sifat fungsional daging yaitu, adanya keterbatasan
daging untuk mengikat air atau daging sapi fase prarigor hanya dapat
bertahan sekitar 6-8 jam. Dengan
keterbatasan waktu yang mengharuskan daging tersebut haruslah segera diolah
pada saat daging tesebut masih dalam fase prarigor mortis. Salah satu cara untuk mempertahankan sifat
fungsional yang dimiliki daging adalah dengan adanya penambahan bahan tambahan
yang bisa mempertahankan sifat fungsional daging dan juga bisa menghasilkan
kualitas yang baik pada daging tersebut.
Asap cair merupakan
suatu campuran suatu dispersi asap kayu dalam air yang dibuat dengan
mengkondensasikan asap hasil pembakaran kayu yang mengandung senyawa fenol yang
berperan sebagai antioksidan dan dapat meningkatakan daya tahan dan kualitas daging. Pada umumnya, penggunaan asap cair sering
dikombinasikan dengan berbagai perlakukan seperti penggaraman, teknik
pengemasan dan suhu penyimpanan, sebagai upaya efek sinergis terhadap
mikroorganisme perusak dan meningkatkan umur simpan. Asap cair dapat digunakan untuk memberikan
karakteristik sensori terhadap produk olahan daging, dalam bentuk perubahan
warna, bau, dan rasa.
Daging fase prarigor pada otot Longissimus
dorsi merupakan daging yang sangat baik digunakan untuk produk olahan. Namun kenyataannya sifat fungsional daging fase
prarigor tersebut hanya bertahan kisaran 6-8 jam. Melihat sifat fungsional daging prarigor, maka
dari itu dengan penambahan asap cair, sifat fungsional daging sapi Bali pada fase pascarigor bisa
dipertahankan.
Pemberian asap
cair sebagai bahan pengikat (binder) pada
pangan hewani sesuai dengan perlakuan dan konsentrasi yang digunakan, diduga
dapat mempertahankan sifat fungsional daging fase prarigor pada otot Longissimus dorsi.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh
pemberian level asap cair sebagai bahan pengikat dan bagaimana kualitas yang
dihasilkan. Kegunaan dari
penelitian ini adalah sebagai media informasi kepada masyarakat mengenai pemanfaatan
asap cair
sebagai bahan pengikat.
TINJAUAN
PUSTAKA
Tinjauan Umum Daging
Menurut Astawan, (2007)
daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi.
Selain mutu proteinnya tinggi, pada daging terdapat pula kandungan asam amino
esensial yang lengkap dan seimbang. Keunggulan lain, protein daging lebih mudah
dicerna dibanding protein yang berasal dari nabati. Bahan pangan ini juga mengandung beberapa jenis mineral
dan vitamin. Selain kaya protein, daging juga mengandung energi sebesar 250
kkal/100 g. Jumlah energi dalam daging ditentukan oleh kandungan lemak
intraselular di dalam serabut-serabut otot, yang disebut lemak marbling. Kadar
lemak pada daging berkisar antara 5-40 persen, tergantung pada jenis dan
spesies, makanan dan umur ternak. Daging juga mengandung kolesterol, walaupun
dalam jumlah yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan bagian jeroan maupun
otak. Kadar kolesterol daging sekitar (500 mg/100g) lebih rendah daripada
kolesterol otak (1.800-2.000 mg/100 g) atau kolesterol kuning telur (1.500
mg/100 g).
Menurut Soeparno, (2005)
kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh dua faktor yaitu sebelum dan
sesudah pemotongan. Faktor sebelum
pemotongan yang biasa disebut dengan antemortem yang dapat mempengaruhi
kualitas daging adalah genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin,
umur, pakan, dan stress dan setelah pemotongam pemotongan (post mortem) yang mempengaruhi kualitas daging antara lain meliputi
metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, karkas dan daging, bahan
tambahan termasuk enzim pengempuk daging, hormone dan antibiotik, lemak
intramuskuler atau marbling, metode penyimpanan, macam otot daging, dan lokasi
pada suatu otot daging. Hal ini sesuai
dengan pendapat Abustam (2004) bahwa Kualitas karkas dan daging sapi
dipengaruhi oleh dua faktor sebelum dan sesudah pemotongan ternak sapi. Beberpa faktor sebelum pemotongan meliputi
genetic, spesies, bangsa, tipe ternak.
Sedangkan beberapa faktor setelah pemotongan antara lain metode pelayua,
stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas dan daging, dan bahan tambahan
termasuk enzim pengempuk daging, hormon antibiotik, macam otot serta perlakuan
penyimpanan, dan preservasi.
Menurut Tabrany (2001) proses kontraksi menyebabkan otot menjadi
keras dan kaku sedangkan proses relaksasi menyebabkan jaringan otot menjadi
lunak dan empuk. Fase-fase yang dialami jaringan otot hewan setelah dipotong
adalah fase pre rigor mortis, rigor mortis, dan pasca rigor mortis. Pada fase
pre rigor mortis daging masih lunak karena daya ikat air dari jaringan otot
masih tinggi, lama fase pre rigor mortis berkisar antara 5-8 jam, tergantung
dari jenis hewan. Pada fase rigor mortis jaringan otot menjadi keras dan kaku.
Fase ini sangat tergantung pada kondisi penyimpanan. Penyimpanan pada suhu
rendah dapat menyebabkan fase rigor mortis berlangsung cukup lama. Sedangkan
fase pasca rigor mortis adalah fase pembentukan aroma, pada fase ini daging
kembali menjadi lunak dan empuk karena daya ikat air dalam otot kembali
meningkat. Lama pelayuan daging berhubungan dengan selesainya proses rigor
mortis (proses kekakuan daging), dalam hal ini apabila proses rigor mortis
belum selesai dan daging terlanjur dibekukan maka akan menurunkan kualitas
daging atau daging mengalami proses cold-shortening (pengkerutan dingin)
ataupun thaw rigor (kekakuan akibat pencairan daging) pada saat thawing
sehingga akan menghasilkan daging yang tidak empuk (alot).
Untuk mempertahankan kehidupan dan aktivitas ternak, makanan
merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi. Kelebihan karbohidrat yang
berasal dari pakan yang dikonsumsi akan dirubah dalam tubuh ternak menjadi
glikogen (pati hewan) yang akan disimpan didalam hati dan otot. Glikogen ini
akan dirombak menjadi asam laktat (anaerob) atau asam piruvat (aerob) dan akan
menghasilkan ATP (adenosine tri fosfat). Pada otot ATP akan digunakan untuk
proses kontraksi dan relaksasi sehingga memungkinkan ternak untuk bergerak atau
beraktivitas. Pada saat ternak telah mengalami kematian maka otot yang semasa
hidup ternak disebut sebagai energi mekanik dan energi kimiawi akan disebut
sebagi energi kimiawi saja karena setelah rigor mortis terbentuk maka
akativitas kontraksi tidak tejadi lagi.
Sesaat setelah ternak mati maka sisa-sisa glikogen dan khususnya ATP
yang terbentuk menjelang ternak mati akan tetap digunakan untuk kontraksi otot
sampai ATP habis sama sekali dan pada saat itu akan terbentuk rigor mortis
ditandai dengan kekakuan otot (tidak ekstensibel lagi).
Produksi
ATP dari glikogen melalui tiga jalur yakni: (Abustam, 2009)
1. Glikolisis; perombakan glikogen
menjadi asam laktat (produk akhir) atau melalui pembentukan terlebih dahulu
asam piruvat (dalam keadaan aerob) kemudian menjadi asam laktat (anaerob). Pada
kondisi ini akan terbentuk 3 mol ATP
2. Siklus asam trikarboksilat (siklus
krebs); sebagian asam piruvat hasil perombakan glikogen bersama produk
degradasi protein dan lemak akan masuk kedalam siklus asam trikarboksilat yang
menghasilkan CO2 dan atom H. Atom H kemudian masuk ke rantai
transport elektron dalam mitochondria untuk menghasilkan H2O serta
30 mol ATP.
3. Hasil glikolisis berupa atom H
secara aerob via rantai transport elektron dalam mitochondria bersama dengan O2
dari suplai darah akan menghasilkan H2O dan 4 mol ATP.
Dengan demikian melalui tiga jalur ini glikogen otot
pertama-tama dirubah menjadi glukosa mono fosfat kemudian dirombak menjadi CO2
dan H2O serta 37 mol ATP.
Adenosin tri fosfat (ATP) akan digunakan sebagai sumber energi untuk
kontraksi, memompa ion Ca2 pada saat relaksasi, dan mengatur laju
keseimbangan Na dan K. Cepat lambatnya
waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis sangat tergantung pada
sedikit banyaknya ATP yang tersedia pada saat ternak disembelih. Kondisi ternak
yang kurang istirahat menjelang disembelih dan terutama pada kondisi stress
atau kecapaian/kelelahan akan mempercepat terbentuknya rigor mortis.
Rigor mortis adalah suatu proses yang terjadi setelah ternak
disembelih diawali fase prarigor dimana otot-otot masih berkontraksi dan
diakhiri dengan terjadinya kekakuan pada otot. Padas saat kekakuan otot itulah
disebut sebagai terbentuknya rigor mortis sering diterjemahkan dengan istilah
kejang mayat. Waktu yang dibutuhkan
untuk terbentuknya rigor mortis tergantung pada jumlah ATP yang tersedia pada
saat ternak mati. Jumlah ATP yang tersedia terkait dengan jumlah glikogen yang
tersedia pada saat menjelang ternak mati. Pada ternak yang mengalami
kecapaian/kelelahan atau stress dan kurang istirahat menjelang disembelih akan
mengjhasilkan persediaan ATP yang kurang sehingga proses rigor mortis akan
berlangsung cepat. Demikian pula suhu yang tinggi pada saat ternak disembelih
akan mempercepat habisnya ATP akibat perombakan oleh enzim ATPase sehingga
rogor mortis akan berlangsung cepat.
Waktu yang singkat untuk terbentuknya rigor mortis mengakibatkan pH
daging masih tinggi (diatas pH akhir daging yang normal) pada saat terbentuknya
rigor mortis. Jika pH >5.5 – 5.8 pada saat rigor mortis terbentuk dengan
waktu yang cepat dari keadaan normal maka kualitas daging yang akan dihasilkan
menjadi rendah (warna merah gelap, kering dan strukturnya merapat) dan tidak
bertahan lama dalam penyimpanan sekalipun pada suhu dingin (Abustam, 2009).
Komposisi
Kimia Daging Sapi
Di
dalam daging sapi juga terdapat mineral-mineral seperti kalsium, magnesium,
natrium, fosfhor, khorl, besi, belerang, tembaga, dan mangan. Viatamin yang terdapat terutama golongan
vitamin B (B1, B12, B6, dan B2), viatamin C, A, E, D, dan K. selain itu daging pigmen pemberi warna merah
(mioglobin). Perubahan warna daging dari
karkas menjadi merah cerah karena pembentukan oksimioglobing dan ketika berubah
menjadi coklat karena mioglobin menjadi metmioglobin (Sudarwati, 2007).
Warna daging sapi
adalah warna merah cerah, karena dianggap daging tersebut adalah daging yang
berkualitas jika dibandingkan dengan daging yang berwarna meraH tua. Daging sapi yang baik harus berwarna merah segar,
mengkilat, tidak pucat, seratnya halus, tidak berbau asam, tidak busuk, apabila
dipanggang terasalekat pada tangan dan masih terasa kebasahannya serta lemaknya
berwarna kuning. Banyak faktor yang
mempengaruhi warna daging, termasuk pakan, spesies, bangsa, umur, jenis
kelamin, stress (tingkat aktifitas), tipe otot, pH, dan oksigen. Faktor-faktor ini dapat mempengaruhi penentu
utama warna daging yaitu konsentrasi pigmen daging mioglobin (Lawrie, 2003).
Flavor atau aroma
daging adalah sensasi komplek dan sangat terkait. Bau dan rasa paling sukar untuk didefinisikan secara objektif. Daging dari ternak yang lebih tua lebih
menyengat dari ternak yang lebih muda.
Bau dan aroma pada daging sangat dipengaruhi oleh prekusor yang larut
dalam air dan lemak, serta pembebasan substansi atsiri (volatil) yang terdapat
didalam daging (Soeparno,2005) dalam (Lena, 2007).
Menurut Sikapang
(2009), menyatakan bahwa otot Longissimus
dorsi memiliki warna agak pucat, pH dan susut masak yang rendah, serta
memiliki keempukan, kelentingan, kekenyalan dan kesukaan yang tinggi dibanding
dengan otot Semitendinosus dan otot Pectoralis profundus.
Longissimus dorsi memilliki
nilai susut masak dan DPD rendah,
memiliki keempukan, kebasahan dan flavour yang tinggi serta residu pengunyahan
rendah dibanding dengan otot Semitendinosus
dan Pectoralis profundus.(Wulandari,
2011)
pH
Daging (Derajat Keasaman)
Menurut
Soeparno (2009) pH daging tidak diukur segera setelah pemotongan (biasanya
dalam waktu 45 menit) untuk mengetahui
penurunan pH awal. Pengukuran pH pada
daging karkas dengan menggunakan elektroda pH gelas. pH daging yang berhubungan dengan daya ikat
air, kesan jus daging, keempukan dan susut masak, juga berhubung dengan warna
dan sifat mekanik daging ( daya putus Warner Bratzler), kompresi, adhesi dan
kekuatan tarik). Suatu kenaikan pH
daging akan meningkatkan jus daging dan menurunkan susut masak otot. Hampir semua bakteri tumbuh secara optimal
pada pH sekitar 7 dan tidak akan tumbuh persis dibawah pH 4 atau diatas 9,
tetapi pH untuk pertumbuhan optimal ditentukan oleh kerja simultan dari
berbagai variabel lain diluar faktor keasaman itu sendiri (Lawrie, 2003)
Menurut
Soeparno (2005) bahwa pH ultimat daging
adalah 5,5-5,8 dan factor yang mempengaruhi laju dan besarnya penurunan pH postemortem di bagi menjadi dua yaitu
factor intrinsic yang terdiri atas spesies, jenis otot, glikogen otot, dan
variabilitas diantara ternak. Sedangkan
faktor ekstrinsik antara lain temperatur lingkungan, perlakuan bahan aditif
sebelum pemotongan dan stress sebelum pemotongan. Umum nilai pH tetap pada umur berbeda baik
jantan maupun betina, dimana pH ultimat otot Longissimus dorsi ternak sapi bali 5,50, ternak kuda, 5,54, babi,
5,57, dan domba 5,60.
Menurut
Lawrie (2003) bahwa pH akhir daging yang dicapai merupakan petunjuk untuk
mengetahui mutu daging yang baik. Daging
yang mempunyai pH antara 5,5-5,7 (pH Normal) memberikan warna merah cerah.
Standar
pH daging sehat dan cukup istirahat yang baru disembelih adalah 7,72 dan akan
terus menurun selama 24 jam sampai beberapa hari. Jika terjadi pembusukan maka pH-nya akan
kembali ke 7. Jarak penurunan pH
tersebut tidak sama untuk semua urat dari seekor hewan dan antara hewan juga
berbeda. pH postemortem akan ditentukan
oleh jumlah asam laktat yang dihasilkan dari glikogen selama proses glikolisis
anaerob dan akan terbatas bila hewan depresi karena kelelahan, (Rahadja, 2009).
Laju
pH penurunan pH oto cepat dan ekstensif akan mengakibatkan warna daging menjadi
pucat, daya ikat air protein terhadap cairan menjadi rendah dan permukaan otot
daging menjadi basah karena keluarnya cairan kepermukaan potogan daging (Weep).
Sebaliknya pH ultimat yang tinggi, daging berwarna gelap dan permuaan
potongan daging menjadi sangat kering
karena cairan daging terikat secara erat oleh proteinnya.
Daya
Ikat Air /Water Holding Capacity(WHC)
Daya ikat air oleh protein daging atau water-holding
capacity adalah kemampuan daging untuk mengikat air. Air yang terikat didalam otot dapat dibagi
menjadi 3 kompartemen air, yaitu air yang terikat secara kimiawi oleh protein
otot sebesar 4-5% sebagai lapisan monomolekular pertama; air terikat agak lemah
sebagai lapisan kedua dari molekul air terhadap grup hidrofilik, sebesar
kira-kira 4%, dan lapisan kedua ini akan terikat oleh protein bila tekanan uap
air meningkat. Lapisan ketiga adalah
molekul-molekul air bebas diantara molekul protein, berjumlah kira-kira
10%. Jumlah air yang terikat (lapisan
pertama dan kedua) adalah bebas dari perubahan molekul yang disebabkan oleh
denaturasi protein daging, sedangkan jumlah air terikat yang lebih lemah yaitu
lapisan diantara molekul protein akan menurun bila protein daging mengalami
denaturasi. (Soeparno, 2009)
Beberapa
faktor dapat mempengaruhi daya ikat air protein daging termasuk pH, stress, bangsa,
pembentukan akto-myosin (rigormortis), temperatur dan kelembaban, pelayuan
karkas dan aging, tipe otot dan lokasi otot, spesies, umur, fungsi otot, pakan,
dan lemak intramuskuler (Soeparno, 2005).
Daya
ikat air dan tingkat kualitas erat hubungannya dengan pH akhir otot. Jika konsentrasi glikogen otot pada
pemotongan cukup, maka pH akan mengalami penurunan dari 7,2 menjadi 5,5 setelah
rigormortis dan daging akan lebih empuk.
Laju penurunan pH karkas (postemortem)
juga merupakan penentu utama dari daya ikat air. Besar penurunan pH karkas (postemortem) , akan mempengaruhi daya
ikat air dan makin tinggi pH akhir makin kurang daya ikat air daging. (lawrie,
2003)
Daya Putus Daging
Nilai
daya putus daging Warner Blatzler (WB)
ikut menunjukkan keempukan daging. Pada
pengujian adhesi arah serabut sampel yang digunakan adalah tegak lurus pada
arah serabut otot untuk pengujian daya putus daging Warner Blatzler (WB). Sampel
daging untuk pengujian kekuatan tarik (tensile
strength) mula-mula dibuat seperti penyiapan sampel untuk pengujian daya
putus Warner Blatzler (WB). Kemudian dibuat tanda bagian tengah sampel
daging dengan lebar 0,67 cm, dan sampel dipotong sehingga berbentuk seperti
pasak. Kekuatan tarik juga merupakan
identitas keempukan atau kealotan daging.
(Soeparno, 2009)
Keempukan daging dapat diukur dengan melihat daya putus
daging dengan menggunakan alat CD Shear
Force. Uji daya putus daging merupakan pengujian yang dilakukan untuk
mengetahui tingkat kealotan dari daging, semakin tinggi nilai DPD suatu sampel
daging maka semakin tinggi pula tingkat kealotannya. Faktor utama yang mempengaruhi tingkat
kealotan daging adalah jumlah kolagen dan tingkat kelarutan kolagen (Lawrie,
2003) dalam (Ma’arif, 2009)
Abustam (1987) memperlihatkan bahwa kandungan kolagen daging
sapi bervariasi, tergantung pada jenis otot dan umur ternak, variasi ini sangat
besar pada otot empuk dan ternak umur muda yang mana 48 - 66 % dapat
menjelaskan variasi keempukan daging. Semakin tinggi kadar kolagen maka semakin
rendah suhu awal kontraksi dan semakin
penting tegangan maksimal (maximal tension) selama pemanasan daging.
Tinjauan
Umum Asap Cair
Asap cair diperoleh melalui pemanasan pada batok atau tempurung kelapa
dengan suhu 400-600 derajat celcius dalam sebuah tabung. Asap yang keluar dari hasil pemanasan itu
dialirkan melalui pipa-pipa. “Pipa untuk
menyalurkan asap dibuat berebentuk spiral atau seperti yang dimasukkan dalam
sebuah tong yang berisi air. Asap yang
didinginkan itu akan keluar dalam bentuk cairan. Cairan itulah yang disebut liquid smoke,”. Liquid
smoke mengandung lebih dari 400 senyawa kimia,
antara lain air, fenol, karbonil, asam, dan tar. Untuk menghilangkan senyawa tar, disebut
saringan guna memisahkannnya dengan senyawa-senyawa yang lain. Dijelaskan, adanya fenol dengan titik didih
tinggi dalam asap merupakan zat antibakteri yang mampu mencegah
pembusukan. Liquit sudah melalui uji
toksisitas awal, hasilnya aman untuk manusia.
Asap cair adalah hasil
dari kondensasi asap hasil pembakaran kayu. Komponen yang terkandung dalam
proses pembakaran itu antara lain terdiri dari selulosa hemiselosa dan lignin
yang mengalami pirolisa sehingga menghasilkan asap dengan komposisi yang sangat
kompleks. Wama dari asap cair itu adalah kuning cemerlang dan wama itu akan
berubah menjadi gelap apabila asap cair itu disimpan. Senyawaan hasil pirolisa
itu adalah kelompok fenol, karbonit dan kelompok asam yang secara simultan
mempunyai sifat antioksidasi dan antimikroba. Kelompok-kelompok itu mampu
mencegah pembentukan spora dan pertumbuhan bakteri dan jamur serta menghambat
kehidupan bakteri dan jamur serta menghambat kehidupan virus. Sifat-sifat itu
dapat dimanfaatkan untuk pengawetan makanan (Anonima, 2010).
Asap cair merupakan suatu
campuran larutan dan disperse koloid dari uap asap kayu dalam air yang
diperoleh dari hasil pirolisa kayu. Asap
cair diprouksi dengan cara pembakaran yang tidak sempurna yang melibatkan
reaksi dekomposisi konstituen polimer
menjadi senyawa organik dengan berat molekul rendah karena pengaruh panas yang
meliputi reaksi oksidasi, polimerisasi, dan kondensasi. Asap cair diperoleh secara destilasi kering
bahan baku asap misalnya tempurung kelapa, sabut kelapa, atau kayu pada suhu 400 0C selama 90
menit lalu diikuti dengan peristiwa kondensasi dalam kondensor berpendinginan
air destilat yang diperoleh dimasukkan
dalam corong pemisah untuk dipisahkan dari senyawa-senyawa kimia yang tidak
diinginkan misalnya senyawa tar yang tidak larut dengan asam (Sikapang, 2009).
Zuraida (2008)
mengemukakan bahwa asap cair mengandung beberapa zat anti mikroba,
antara lain asam dan turunannya (format,
asetat, butirat, propionate, dan metal ester), alkohol (metal, etil, propel, alkil, dan isobutyl
alkohol), aldehid (formaldehid,
asetaldehid, furfural, dan metal furfural,) hidrokarbon (silene, kumene, dan
simene), keton ( aseton, metal etil keton, metal propel keton, dan etil propel
keton), fenol, piridin dan metal piridin.
Kandungan dalam asap cair tersebut ada beberapa macam. Berikut komponen-komponen penyusun asap cair
yang meliputi: Anonim 2010b.
1. Senyawa-senyawa fenol
Senyawa fenol diduga berperan sebagai antioksidan sehingga
dapat memperpanjang masa simpan produk asapan.
Kandungan senyawa fenol dalam asap sangat tergantung pada temperatur
pirolisis kayu.
2.
Senyawa-senyawa karbonil
Senyawa-senyawa karbonil dalam asap memiliki peranan pada
pewarnaan dan citarasa produk asapan.
3. Senyawa-senyawa
asam
Senyawa-senyawa asam mempunyai peranan sebagai antibakteri
dan membentuk citarasa produk asapan. Senyawa asam ini antara lain adalah asam
asetat, propionat, butirat dan valerat.
4. Senyawa hidrokarbon
polisiklis aromatis
Senyawa hidrokarbon polisiklis aromatis (HPA) dapat terbentuk
pada proses pirolisis kayu. Senyawa
hidrokarbon aromatik seperti benzo(a) pirena merupakan senyawa yang memiliki
pengaruh buruk karena bersifat karsinogen.
Girard (1992) menyatakan bahwa pembentukan berbagai senyawa HPA selama
pembuatan asap tergantung dari beberapa hal, seperti temperatur pirolisis,
waktu dan kelembaban udara pada proses pembuatan asap serta kandungan udara
dalam kayu. Semua proses yang
menyebabkan terpisahnya partikel-partikel besar dari asap akan menurunkan kadar
benzo(a) pirena. Proses tersebut antara lain adalah pengendapan dan penyaringan
Keuntungan penggunaan asap cair antara
lain lebih intensif dalam pemberian citarasa, kontrol hilangnya citarasa lebih
mudah, dapat diaplikasikan pada berbagai jenis bahan pangan, lebih hemat dalam
pemakaian kayu sebagai bahan asap, polusi lingkungan dapat diperkecil dan dapat
diaplikasikan ke dalam bahan dengan berbagai cara seperti penyemprotan,
pencelupan, atau dicampur langsung ke dalam makanan. (Anonimc, 2010)
Cara pemanfaatan liquit
smoke yakni dengan mencampurkan pada air bersih. Dengan perbandingan 20-30 persen liquit
smoke, dan 70 persen air. (Kompas, 2006 dalam abustam, 2010).
Penambahan antioksidan Catechin tea, eugenol
kayu manis dan asap cair pada daging dada broiler yang disimpan selama 1 bulan
memperlihatkan susut masak yang lebih rendah pada perlakuan asap cair secara
berurutan masing-masing 17,47%, 22,26%, dan 11,50%. Rendahnya susut masak daging dada broiler
pada perlakuan asap cair (15,50%) menandakan bahwa terjadi peningkatan daya
ikat air yang berimplikasi terhadap tekstur yang lebih baik. (Kompudu, 2008 dalam Abustam dan Ali, 2010)
Tingkat penambahan asap cair 2% menghasilkan
perbaikan keempukan sebesar 18,40% dari tanpa penambahan asap cair. Penambahan 1% dan 1,5% mengakibatkan
perbaikan keempukan secara berurutan masing-masing 4,7% dan 6,29% (Abutstam dan
Ali, 2010)
Pemanfaatan asap cair sebagai bahan pengikat dalam bakso daging sapi
memperlihatkan bakso yang ditambah asap cair pada level 0,5% secara uji
sensorik kekenyalannya meningkat dari
2,6 menjadi 3,8. Demikian pula pada daya
lenting semakin tinggi dengan meningkatnya level asap cair. Dimana pada level 1% kelentingan mencapai
skor 4. (Abustam dkk, 2009 dalam Abustam dan Ali, 2010)
Abustam dan Ali (2010) menyatakan bahwa semakin lama waktu
penyimpanan semakin rendah pH, semakin menurun daya ikat air (DIA), dan semakin
rendah daya putus daging (DPD), demikian pula semakin tinggi tingkat penambahan
asap cair semakin rendah pH, semakin meningkat daya ikat air (DIA), dan semakin
menurun daya putus daging (DPD). Otot Longissimus dorsi (LD) memberikan pH
yang lebih rendah, daya ikat air yang lebih tinggi dan daya putus daging yang
lebih rendah dibanding dengan otot Semitendinosus
(ST) dan otot Pectoralis profundus
Penambahan asap cair akan memperbaiki kualitas daging
dimana pada level 2% menurunkan susut masak, menurunkan DPD, meningkatkan skor
keempukan, meningkatkan skor kebasahan, meningkatkan skor residu pengunyahan
meningkatkan skor flavor (Wulandari, 2011)
Parameter
yang diamati pada penelitian ini adalah pH, daya ikat air, daya putus daging dan
uji organoleptik bau dan warna. Prosedur
pengambilan data masing-masing peubah tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Nilai
pH Daging
Pengukuran pH
dilakukan dengan menggunakan pH meter dengan cara memasukkan elektroda khusus
daging (ujung lancip) ke dalam daging dan melakukan pembacaan skala pH setelah
angka ditunjukkan pada layar menjadi stabil.
2. Daya
Ikat Air
Daya ikat air
dilakukan dengan metode penekanan (press
method) sesuai dengan petunjuk Hamm (Soeparno, 2005), yaitu sampel sebanyak
0,3 g. Sampel dibungkus dengan kertas
saring Wacthman 42. Sampel
yang terbungkus dipres diantara dua plat dengan beban seberat 35 kg selama 5
menit menggunakan alat modifikasi Filter
Paper Press. Kertas saring
diletakkan di bawah kertas kalkir dan area yang terbentuk digambar. Daya ikat air dihitung dengan rumus berikut :
DIA =
x 100%
|
Keterangan
:
D =
Luas Area Daging
T =
Luas Area Total
3. Daya
Putus Daging (DPD)
Pengukuran daya putus daging menggunakan alat
CD-Shear Force untuk melihat daya putus daging yang dinyatakan dalam kg/cm2
(Abustam, 1993). Semakin rendah nilai daya putus daging, menunjukkan daging
tersebut semakin empuk, sebaliknya semakin tinggi nilai daya putus daging maka
semakin alot. Prosedur pengukuran keempukan daging adalah :
a. Sampel dipotong dengan
panjang 1 cm, jari-jari 0,635 cm
b. sampel dimasukkan pada
lubang CD Shear Force
c.
Sampel dipotong tegak lurus dengan serat daging
d. Perhitungan daya putus
daging sesuai pembacaan pada CD Shear Force dengan menggunakan rumus :
A1
A =
L
Keterangan :
A = daya putus daging(kg/cm2)
A1 = tenaga yang digunakan (kg)
L = luas penampang sampel (
= 3,14 x(0,635 cm)2
= 1,27)
4.
Uji Organoleptik
Pengamatan secara subjektif (organoleptik) dilakukan oleh 10 panelis
dari mahasiswa Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin dengan cara sampel
diuji secara acak dengan memberikan kode pada sampel yang akan diuji yang telah
mengalami perlakuan meliputi konsistensi daging.
Abustam, E. 1993. Peranan
maturasi (aging) terhadap
mutu daging sapi
Bali yang di pelihara secara
tradisional dan dengan sistem Penggemukan. laporan hasil
penelitian proyek peningkatan peneltian pada masyarakat, loan Bank Dunia No. 3311-IND. SPK No. 670/P4M/DPPM/L. 3311/BBI/1992. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin.
Abustam, E. 2004. Bahan
Ajar Ilmu dan Teknologi Pengolahan Daging.
Fakultas peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.
Abustam, E. 2009. Konversi otot menjadi maging. http://cinnatalemien-eabustam.blogspot.com/2009/03/struktur-otot.html.
Abustam, E dan Hikmah M.
Ali. 2010. Kemampuan Mengikat Air (Water Holding Capacity) dan Daya Putus Daging Sapi Bali Prarigor
Melalui Tingkat Penambahan Asap Cair.
Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin.
Abustam
E. 1987.
Contribution Al’ etude Des Caracterissafion Des Viances Bovines Par les
Proprietes Des Tissus Conjontift These Des Docteur Enginius, Universite Blaise
Pascala, France.
Anonima.
2010. Kandungan asap cair, komponen senyawa penyusun asap cair. http://id.wordpress.com. Diakses
Anonimb. 2010. Asap cair dan oven pengasap
mekanis
untuk meningkatkan
Mutu ikan asap. http://www.iptekda.lipi.go.id/root/buletin.asp.
Anonimc, 2010. Asap cair pengawet makanan. http://id.wordpress.com/. Diakses
Astawan.
2007. Mengapa kita perlu makan daging.
kompas Cyber Media. Bandung. http://multiply.com/kulinerkita/daging.html.
Diakses pada tanggal
Girrard, J.P. 1992. Smoking in Technology of Meat Products. Clermont Ferrand. Ellis
Horwood, New York pp: 165:205.
Gaspersz, V.
1991. Metode Penelitian dan Perancangan
Percobaan Untuk Ilmu-ilmu Pertanian Ilmu-ilmu Teknik dan Biologi. Armico, Bandung.
Lawrie, R.
A. 2003. Ilmu Daging. (Terjemahan Parakasi,
A). Universitas Indonesia Press,
Jakarta.
Lena Soi, F. 2007. Pertumbuhan staphylococcus aureus pada daging sapi dalam penyimpan suhu kamar. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin,
Makassar.
Ma’arif, A.
2009. Pengaruh asap cair terhadap
kualitas bakso daging sapi bali.
Skripsi Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar
Rahardja, Djoni P. 2009. Bahan Ajar Ilmu Lingkungan Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin,
Makassar.
Sikapang, F.
2009. Pengaruh jenis otot dengan
penambahan level asap cair yang berbeda terhadap karakteristik bakso daging
sapi Bali. Skripsi.
Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.
Soeparno,
2005. Ilmu dan Teknologi Daging.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Soeparno,
2009. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
Sudarwati.
2007. Pembuatan bakso daging sapi dengan
penambahan kitosan. Skripsi. Departemen Teknologi Pertanian Fakultas
Pertanian Universitas Sumatra Utara.
Sumatra Utara.
Tabrany, H. 2001. Pengaruh
proses pelayuan terhadap kualitas daging. Disertasi Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Wulandari,
2011. Pengaruh jenis otot dan level asap
cair terhadap kualitas daging pascarigor sapi Bali. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin,
Makassar.
Zuraida I.
2008. Kajian penggunaan asap cair tempurung
kelapa terhadap daya awet bakso ikan. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana
Institut Pertanian Bogor.
0 comments:
Post a Comment