Sejarah Pancasila
Sejarah Pancasila pada Masa
Reformasi
Pancasila lahir dari banyak macamnya
(pluralitas) keinginan masyarakat yang ingin memiliki tatanan sosial yang lebih
menjamin setiap sila yang ada didalam Pancasila yaitu kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan, dan keadilan yang ditopang oleh keyakinan kepada Tuhan Yang Maha
Esa, dalam satu wadah bangsa dan negara Indonesia. Oleh karena itu, untuk
mengembalikan suasana masyarakat yang memiliki cita ideal dan semangat yang
sama ketika hari kemerdekaan Indonesia, digalakkanlah gerakan reformasi pada
hari kamis, 21 Oktober 1998.
Apa itu reformasi ? Mari kita kaji secara terminologis, arti
reformasi berasal dari kata reformation dengan akar katareform yang artinya “make or become better by
removing or putting right what is bad or wrong ”.
Pengertian reformasi secara umum adalah suatu gerakan untuk memformat ulang,
menata ulang atau menata kembali hal-hal yang menyimpang untuk dikembalikan
pada format atau bentuk semula, sesuai dengan nilai-nilai ideal yang
dicita-citakan rakyat, yakni Pancasila sebagai konsensus nasional. Atas dasar
pengertian reformasi diatas, suatu gerakan reformasi memiliki kondisi atau
syarat syarat sebagai berikut:
- Gerakan
reformasi terjadi akibat terjadinya penyimpangan pada era sebelumnya yaitu
orde baru dan orde lama. Berbagai sebab tersebut, bisa berupa distorsi
kebijakan (ketidaksesuaian atau ketidakcocokan kebijakan) maupun hukum.
Hal tersebut terjadi pada masa orde baru, di mana rezim pemerintahan dalam
mengelola negara menggunakan pendekatan kekeluargaan sehingga semakin
menguatkan pola-pola nepotisme, kolusi, dan korupsi (KKN) yang tidak
sesuai dengan makna dan semangat Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.
- Gerakan
reformasi harus dilakukan dengan semangat dan cita-cita yang (berlandasan
ideologis) tertentu, yakni Pancasila sebagai ideologi, dasar, dan filsafat
bangsa dan negara Indonesia.
- Gerakan
reformasi dilakukan dengan berdasar pada suatu kerangka struktural
tertentu (dalam hal ini Undang Undang Dasar 1945) sebagai kerangka acuan
reformasi.
- Gerakan
Reformasi dilakukan ke arah suatu perubahan kondisi serta keadaan yang
lebih baik dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, yakni antara lain tatanan politik, ekonomi Indonesia, sosial,
budaya, serta kehidupan keagamaan.
- Gerakan
reformasi pada hakikatnya dilakukan dengan semangat mendekatkan dari
kondisi ideal nilai-nilai Pancasila yang memiliki prinsip sesuai ke-5
silanya.
Pengertian gerakan reformasi secara
praksis dan aplikatif berarti mengembalikan tatanan kenegaraan ke arah sumber
nilai yang merupakan platform kehidupan bersama bangsa Indonesia, yang selama
diselewengkan demi kekuasaan sekelompok orang, baik pada masa Orde Lama maupun
Orde Baru. Negara Indonesia ingin mengadakan suatu perubahan, yakni merekonstruksi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Agar terwujud masyarakat madani (cari
pengertian masyarakat madani) yang sejahtera, masyarakat yang bermartabat
kemanusiaan yang menghargai hak-hak asasi manusia, masyarakat yang demokratis
yang bermoral religius serta masyarakat yang bermoral kemanusiaan dan beradab.
Bila berbicara sebab akibat atau
kausalitas, melihat dari sejarah terjadinya gerakan reformasi, sesungguhnya
reformasi ada sebagai aksi atau bentuk perlawanan terhadap penerapan dan
penggunaan GBHN 1998 pada Pembangunan jangka Panjang II Pelita ke-7 di Negara
Indonesia sehingga memunculkan krisis ekonomi Indonesia dan Asia terutama Asia
Tenggara sehingga menyebabkan stabilitas politik menjadi semakin rapuh dan
goyah. Sistem politik dikembangkan ke arah sistem “Birokratik
Otoritarian” dan suatu sistem “Korporatik”.
Sistem tersebut ditandai dengan
konsentrasi kekuasaan dan partisipasi di dalam pembuatan keputusan-keputusan
nasional yang berada hampir seluruhnya pada tangan penguasa negara, kelompok
militer, kelompok cerdik cendikiawan dan kelompok pengusaha oligopolistik yang
bekerjasama dengan masyarakat bisnis internasional.
Keberhasilan gerakan reformasi
diawali dengan peristiwa gerakan demonstrasi massal di seluruh pelosok negeri
Indonesia yang dilakukan oleh hampir seluruh lapisan masyarakat, termasuk
aktivis mahasiswa dan puncaknya terjadi pendudukan gedung DPR RI, sehingga
berakibat tumbangnya (lebih tepatnya mundur dari jabatan) Presiden Soeharto
pada Kamis, 21 Mei 1998, dan kemudian digantikan oleh Wakil Presiden Prof. Dr.
Baharuddin Jusuf Habibie dan kemudian menjabat sebagai presiden. Tidak lama
setelahnya terjadi pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan.
Pemerintahan Presiden B.J. Habibie
merupakan pemerintahan transisi yang akan mengantarkan rakyat Indonesia untuk
melakukan reformasi secara menyeluruh, terutama perubahan paket Undang Undang
politik 1985, kemudian diikuti dengan reformasi ekonomi Indonesia yang
menyangkut perlindungan hukum. Yang lebih mendasar, reformasi dilakukan pada
kelembagaan tinggi dan tertinggi negara yaitu pada susunan DPR dan MPR, yang
dengan sendirinya harus dilakukan melalui pemilu secepatnya.
Dalam sejarah panjang stabilitas
Negara Indonesia ini, Orde Reformasi memiliki kesamaan alasan utama kemunculan
dengan rezim atau era yang lain, yaitu ingin mengoreksi atau memperbaiki hal
hal yang salah atau kurang tepat di masa ataupun era sebelumnya. Contohnya
saja, orde baru yang hadir akibat adanya keinginan untuk memperbaiki moral dan
mental bangsa dan masyarakat ekonomi politiknya. Akan tetapi, sayang sekali
harapan berbeda dari kenyataan, maka orde baru kemudian dikoreksi oleh era
reformasi.
Dalam orde atau era reformasi
tersebut dalam sejarahnya, dilakukan pengembangan dalam hak-hak rakyat di
wilayah tataran elit maupun dalam tataran rakyat bawah Rakyat bebas untuk
berserikat dan berkumpul dengan mendirikan partai politik LSM, dan lain-lain.
Penegakan hukum telah lebih terjamin
khususnya bila dibandingkan pada zaman orde lama dan orde baru. Akan tetapi
tidak dapat kita nafikan bahwa para elit politik/pejabat masih menyayangi KKN
dari pada negaranya sehingga terjadi inkonsistensi dalam penegakan hukum.
Dalam bidang sosial budaya, di satu
sisi kebebasan berbicara, bersikap, dan bertindak amat memacu kreativitas
masyarakat. Namun, di sisi lain justru menimbulkan semangat primordialisme.
Benturan antar-suku, antar-umat beragama, antar-kelompok, dan antar-daerah
terjadi di berbagai tempat. Kriminalitas meningkat dan pengerahan massa menjadi
cara untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang berpotensi tindakan kekerasan.
Fakta empiris yang dihadapi saat ini adalah munculnya ego kedaerahan dan
primordialisme sempit. Munculnya indikasi tersebut sebagai salah satu gambaran
menurunnya pemahaman tentang Pancasila sebagai suatu ideologi, dasar falsafah
negara, azas, paham negara.
Padahal seperti diketahui Pancasila
sebagai sistem yang terdiri atas lima sila (sikap/prinsip/pandangan hidup) dan
merupakan suatu keutuhan yang saling menjiwai dan dijiwai itu digali dari
kepribadian bangsa Indonesia yang majemuk bermacam etnis/ suku bangsa, agama,
dan budaya yang bersumpah menjadi satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa
persatuan, sesuai dengan Bhinneka Tunggal Ika.
Menurunnya rasa persatuan dan
kesatuan di antara sesama warga bangsa saat ini adalah yang ditandai dengan
adanya konflik di beberapa daerah, baik konflik horizontal maupun konflik
vertikal, seperti halnya yang masih terjadi di Papua dan Maluku. Berbagai
konflik yang terjadi dan telah banyak menelan korban jiwa antar-sesama warga
bangsa dalam kehidupan masyarakat, seolah-olah wawasan kebangsaan yang
dilandasi oleh nilai-nilai Pancasila yang lebih mengutamakan kerukunan telah
hilang dari kehidupan masyarakat Indonesia.
Orde Reformasi yang baru berjalan 12
tahun lebih telah memiliki empat presiden. Namun, berbagai perkembangan
fenomena kehidupan ekonomi Indonesia, politik, sosial, budaya, etnisitas masih
jauh dan cita ideal nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi dasar negara
yang sesungguhnya. Pancasila secara formal tetap dianggap sebagai dasar dan
ideologi negara, tetapi hanya sebatas pada retorika pernyataan politik.
Ideologi negara yang seharusnya
menjadi acuan dan landasan seluruh elemen bangsa Indonesia khususnya para
negarawan dan para politisi serta pelaku ekonomi Indonesia dalam berpartisipasi
membangun negara, justru menjadi kabur dan terpinggirkan. Hasilnya NKRI
mendapat tantangan yang berat. Timor-Timur yang telah lama bergabung dalam NKRI
melalui perjuangan dan pengorbanan lepas dengan sekejap pada masa reformasi
tersebut. Daerah-daerah lain juga mengancam akan berdiri sendiri bila
tuntutannya tidak dipenuhi oleh pemerintah pusat. Tidak segan-segan, sebagian
masyarakat menerima aliran dana asing dan rela mengorbankan kepentingan
bangsanya sebagai imbalan dolar. Dalam bahasa intelijen, Indonesia saat ini
tengah mengalami apa yang dikenal dengan “subversi asing”, yakni kita saling
menghancurkan negara sendiri karena campur tangan secara halus pihak asing.
Di sisi lain, berbagai gerakan
radikal atas nama agama makin mengemuka, seperti Jama’ah Islamiyah (JI) serta
jaringan Al- Qaedah lainnya, Jama’ah Ahmadiyah dengan penodaan agama terhadap
Islam dan terakhir yang kian marak saat ini adalah Negara Islam Indonesia (NII)
yang korbannya bukan saja masyarakat tradisional yang sangat mudah dihegemoni,
tetapi justru mahasiswa di berbagai perguruan tinggi pun menjadi basis jaringan
yang diandaikan. Berbagai fenomena di atas, kiranya menjadi referensi utama
untuk melakukan retrospeksi secara nasional seluruh komponen bangsa ini, tanpa
terkecuali. Retrospeksi adalah jalan satu-satunya untuk memperbaiki keadaan
bangsa ini ke depan. Baik-buruknya bangsa ke depan, adalah sangat bergantung
pada kegigihan dan kesungguhan komitmen generasi saat ini untuk menemukan
kembali jati diri bangsa melalui penanaman nilai-nilai Pancasila dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal itu bisa dilakukan
dengan menjadikan Pendidikan Pancasila sebagai salah satu mata kuliah wajib di
kampus agama dan umum, baik negeri maupun swasta.
Masa Orde Baru yang telah ditinggalkan oleh Bangsa Indonesia
telah meninggalkan banyak warisan. Salah satu warisan yang ditinggalkan oleh
masa Orde Baru adalah bidang politik. Di bidang politik, dominasi eksekutif
yang berakhir dengan dominasi lembaga kepresidenan telah menyebabkan banyak
kerancuan. Presiden menjadi sangat berkuasa tidak hanya dalam konteks
kelembagaan bahkan jabatan presiden telah berubah jadi personifikasi Soeharto.
Pada akhir jabatannya, Soeharto seperti mengambil seluruh cabang kekuasaan di
luar eksekutif yakni legislatif dan yudikatif.
Di bidang legislatif, presiden yang notabene daya jangkau kekuasaannya dalam bidang eksekutif mencampuri lembaga legislatif bahkan lembaga tertinggi negara seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat. Presiden menunjuk utusan golongan dan masyarakat separuh dari 1000 anggota MPR. Secara tidak langsung, Presiden Soeharto ikut mempengaruhi isi dari lembaga tertinggi negara itu dalam pemilihan presiden dan wakil presiden.
Secara ringkas, konsepsi ideologi atau keyakinan terhadap gagasan pada masa Orde Baru bertumpu pada dua kekuatan yakni pembangunisme (developmentalism) dan keyakinan akan dwifungsi ABRI. Orde Baru sebenarnya ingin memberangus ideologi dengan melarang ideologi lain selain Pancasila. Namun, tulis R William Lidlle, keyakinan itu muncul karena kesalahan menafsirkan apa yang disebut ideologi. Liddle menilai, masyarakat tanpa ideologi sama dengan masyarakat tanpa konflik dan harapan. Ideologi sendiri sebenarnya menghasilkan peta realitas sosial yang bisa membedakan penyebab penting perilaku manusia dari yang tidak penting dan menjelaskan bagaimana masa lalu membentuk masa kini dan bagaimana masa kini membentuk masa depan.
Selama lebih dari 30 tahun, para pendiri rezim militer Orde Baru (terutama dari kalangan TNI-AD) telah menyalahgunakan dan melacurkan Pancasila, dalam rangka untuk melaksanakan de-Sukarnoisasi, dan menghancurkan kekuatan utama pendukung politik Bung Karno, yaitu PKI dan golongan kiri lainnya. Dengan Pancasila yang sudah dipalsu – atau dibunuh jiwa aslinya- para tokoh militer telah memaksakan legitimasi Orde Baru. Dewasa ini, sisa-sisa kekuatan rezim militer Suharto dkk masih terus berusaha menggunakan (secara licik!) Pancasila untuk mempamerkan barang dagangan mereka yang busuk dan sudah dinajiskan oleh banyak orang, yaitu Orde Baru.
Salah satu contohnya ialah apa yang diberitakan Kompas pada tanggal 13 Januari 2004 yang berbunyi, antara lain : “Partai Karya Peduli Bangsa yang tegas-tegas menyatakan sebagai partai Orde Baru menyerang tokoh maupun partai yang anti-Orde Baru sebagai anti-Pancasila dan UUD 1945. Orde Baru itu adalah sikap mental yang menjaga kemurnian Pancasila dan UUD 1945.
Selama puluhan tahun, setiap tanggal 1 Oktober dirayakan sebagai Hari Kesaktian Pancasila, untuk memperingati terbunuhnya 6 jenderal TNI-AD (dan seorang perwira) dalam peristiwa G30S, dan sekaligus sebagai legitimasi lahirnya Orde Baru. Hari Kesaktian Pancasila selalu dirayakan oleh rezim militer Orde Baru dengan penuh nuansa anti-Bung Karno dan anti-PKI.
Begitu besar sikap permusuhan para penguasa rezim militer Orde Baru (terutama tokoh-tokoh utama TNI-AD) terhadap Bung Karno, sehingga Kopkamtib melarang peringatan Hari Lahir Pancasila sejak 1 Juni 1970. Tidak lama kemudian, beberapa hari sesudah diumumkannya larangan itu, Bung Karno, pencipta Pancasila, wafat dalam keadaan sebagai tapol yang menderita sakit.
Di bidang legislatif, presiden yang notabene daya jangkau kekuasaannya dalam bidang eksekutif mencampuri lembaga legislatif bahkan lembaga tertinggi negara seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat. Presiden menunjuk utusan golongan dan masyarakat separuh dari 1000 anggota MPR. Secara tidak langsung, Presiden Soeharto ikut mempengaruhi isi dari lembaga tertinggi negara itu dalam pemilihan presiden dan wakil presiden.
Secara ringkas, konsepsi ideologi atau keyakinan terhadap gagasan pada masa Orde Baru bertumpu pada dua kekuatan yakni pembangunisme (developmentalism) dan keyakinan akan dwifungsi ABRI. Orde Baru sebenarnya ingin memberangus ideologi dengan melarang ideologi lain selain Pancasila. Namun, tulis R William Lidlle, keyakinan itu muncul karena kesalahan menafsirkan apa yang disebut ideologi. Liddle menilai, masyarakat tanpa ideologi sama dengan masyarakat tanpa konflik dan harapan. Ideologi sendiri sebenarnya menghasilkan peta realitas sosial yang bisa membedakan penyebab penting perilaku manusia dari yang tidak penting dan menjelaskan bagaimana masa lalu membentuk masa kini dan bagaimana masa kini membentuk masa depan.
Selama lebih dari 30 tahun, para pendiri rezim militer Orde Baru (terutama dari kalangan TNI-AD) telah menyalahgunakan dan melacurkan Pancasila, dalam rangka untuk melaksanakan de-Sukarnoisasi, dan menghancurkan kekuatan utama pendukung politik Bung Karno, yaitu PKI dan golongan kiri lainnya. Dengan Pancasila yang sudah dipalsu – atau dibunuh jiwa aslinya- para tokoh militer telah memaksakan legitimasi Orde Baru. Dewasa ini, sisa-sisa kekuatan rezim militer Suharto dkk masih terus berusaha menggunakan (secara licik!) Pancasila untuk mempamerkan barang dagangan mereka yang busuk dan sudah dinajiskan oleh banyak orang, yaitu Orde Baru.
Salah satu contohnya ialah apa yang diberitakan Kompas pada tanggal 13 Januari 2004 yang berbunyi, antara lain : “Partai Karya Peduli Bangsa yang tegas-tegas menyatakan sebagai partai Orde Baru menyerang tokoh maupun partai yang anti-Orde Baru sebagai anti-Pancasila dan UUD 1945. Orde Baru itu adalah sikap mental yang menjaga kemurnian Pancasila dan UUD 1945.
Selama puluhan tahun, setiap tanggal 1 Oktober dirayakan sebagai Hari Kesaktian Pancasila, untuk memperingati terbunuhnya 6 jenderal TNI-AD (dan seorang perwira) dalam peristiwa G30S, dan sekaligus sebagai legitimasi lahirnya Orde Baru. Hari Kesaktian Pancasila selalu dirayakan oleh rezim militer Orde Baru dengan penuh nuansa anti-Bung Karno dan anti-PKI.
Begitu besar sikap permusuhan para penguasa rezim militer Orde Baru (terutama tokoh-tokoh utama TNI-AD) terhadap Bung Karno, sehingga Kopkamtib melarang peringatan Hari Lahir Pancasila sejak 1 Juni 1970. Tidak lama kemudian, beberapa hari sesudah diumumkannya larangan itu, Bung Karno, pencipta Pancasila, wafat dalam keadaan sebagai tapol yang menderita sakit.
Menurut Mohtar Masoed (1994), sebelum Orde Baru sudah ada
kelompok intelektual yang mengembangkan sejenis ideologi yang berdasarkan pada
nilai rasionalisme, sekular pragmatisme dan internasionalisme . Nilai-nilai
yang berdasarkan pada modernitas sekuler tetap hidup di kalangan intelektual
dan aktivis mahasiswa di Jakarta dan Bandung sepanjang tahun 1960-an.
Gagasan modernitas ini mendapat kekuatan baru karena kembalinya
sejumlah intelektual reformasi yang baru meraih gelar doktor di AS dan adanya
teori-teori ilmu sosial baru yang mendukun mereka. Sebelum lahir iedologi
pembangunan yang digunakan Orde Baru di kemudian hari ada perlunya melihat tiga
teori sosial yang mempengaruhi kalangan intelektual tahun 1960-an.
Pertama, hipotesis Martin Lipset bahwa demokrasi politik umumnya
terjadi setelah keberhasilan pembangunan ekonomi. Ia menilai, negara yang
berhasil mencapai kehidupan demokrasi liberal yang stabil adalah bangsa-bangsa
yang sudah menimati tingkat pertumbuhan tinggi. Ia mengambil kesimpulan ini
setelah melihat sejarah pertumbuhan demokras-demokrasi di Barat.
Kedua, pemikiran Daneil Bell tentang the end of ideology yang
menyebutkan bahwa akibat kemajuan teknologi, pembangunan ekonomi di Barat telah
berhasil menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi era Revolusi Industri.
Oleh karena itu Barat tahun 1960-an menilai politik berdasarkan ideologi
sebagai sesuatu yang sudah usang. Ia mengatakan yang berlaku sekarang adalah
politik konsensus. Argumen Bell ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat modern,
politisi tradisional harus minggir dan memberikan tempat kepada kalangan pakar
yang dikenal dengan nama teknokrat.
Ketiga, adanya pengaruh dari teori yang diajukan Samuel
Huntington yang mengemukakan akibat negatif dari mobilisasi sosial tak
terkendali di masyarakat sedang berkembang. Ia melihat yang penting bagi
masyarakat adalah pelembagaan politik. Oleh karena itu pemerintah harus
menyalurkan tuntutan rakyat dalam bentuk partisipasi yang tertib.
Pemikiran yang berkembang di dunia internasional yang kemudian
berdampak kepada kalangan intelektual yang bergandengan dengan Presiden
Soeharto itu sangat kuat untuk melahirkan ideologi pembangunan. Dengan kata
lain, pembangunan merupakan titik strategis bagi Orde Baru untuk membangun
Indonesia yang ditinggalkan Orde Lama. Mohtar Maso’ed mencatat unsur-unsur dari
ideologi pembangunanisme ini.
Dari berbagai pandangan awal Orde Baru, karya tulis Ali Moertopo
(1972) menunjukkan pengaruh dari kalangan intelektual sipil yang
mengelilinginya. Unsur-unsur ideologi ini adalah pembuatan kebijakan publik
yang rasional, efisiensi, efektivitas dan pragmatisme. Unsur-unsur ini
mengutamakan ketertiban. Oleh karena itu kemudian dirumuskan dalam bentuk
pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik.
Dwifungsi ABRI Berbicara soal ideologi yang kuat selama Orde
Baru tak bisa dilepaskan dari doktrin wifungsi ABRI. Sebagai salah satu
kekuatan yang tersisa setelah Partai Komunis Indonesia hancur, ABRI mau tidak
mau menambah perannya tidak sekedar kekuatan pertahanan dan keamanan tetapi
juga kekuatan sosial dan politik. Hal ini didasarkan pada konsep bahwa
stabilitas politik bisa tercipta kalau ada campur tangan ABRI dalam politik.
Untuk itu ABRI mencari pembenaran campur tangan dalam politik.
Namun pada awal perdebatan tentang peran ABRI, Mohtar memetakan
persoalan yang dihadapi ABRI pada masa itu yang berpengaruh pada 32 tahun kemudian.
Pada umumnya di kalangan ABRI dan intelektual yang bekerja sama dengan mereka
terdapat perbedaan mengenai bagaimana sistem politik harus dibangun setelah
Orde Lama runtuh. Kemudian berkembang dua peta pemikiran yang menghendaki
reformasi sekarang dan nanti.
Mereka yang berpendapat pada reformasi sekarang menghendaki
terciptanya sebuah partai massa untuk menandingi partai-partai yang ada. Dengan
demikian diharapkan adanya sebuah partai yang pro pada sistem baru dan
mendukung tatanan yang sedang dibangun untuk meninggalkan Orde Lama.
Sebaliknya pendukung reformasi nanti menganggap penting untuk
merebut kekuatan di birokrasi dan DPR. Langkah ini dianggapnya lebih penting
ketimbang membentuk partai baru yang bisa dikalahkan kekuatannya di desa-desa
oleh PNI dan NU. Dalam proses berikutnya, reformasi nanti mendapat tempat
sehingga memperkuat dwifungsi ABRI dan membuka jalan bagi terpeliharanya posisi
ABRI dalam politik.
Apalagi gagasan Abdul Haris Nasution tentang dwifungsi yang
dikatakan hanya sementara tidak tertarik lagi karena sudah terlalu dalam campur
tangan ABRI dalam politik. Muncullah kemudian campur tangan dalam pemerintahan
yang menggunakan kedok kekaryaan. Konsep kekaryaan ini lalu berkembang menjadi
tak terkontrol sehingga akhirnya banyak sekali jabatan sipil baik di badan
legislatif, eksekutif maupun yudikatif dipegang kalangan militer. Fenomena ini
melahirkan transformasi struktur dan budaya militer masuk kedalam struktur
eksekutif.
Secara sekilas telah diuraikan bahwa basis ideologi Orde Baru
merujuk pada pembangunanisme dan Dwifungsi. Ini berarti bahwa dalam prakteknya,
Orde Baru menggunakan lebih banyak keyakinan akan dua hal itu dibandingkan
dengan Pancasila yang diakui sebagai ideologi negara.
Alergi akan ideologi yang dialami kalangan intelektual pada era
1960-an merupakan salah satu penyebab mengapa pembangunanisme jadi dominan
dalam prakteknya.Karena pembangunan menghendaki stabilitas maka dwifungsi ABRI
jadi jaminan sehingga muncul keyakinan akan Doktrin Dwifungsi itu sebagai
penyelamat pembangunan.
0 comments:
Post a Comment